Tentang Saujana

SAUJANA PADA KELUARGA

Ketika masih rajin menonton TV, saya suka menyaksikan reality show di Metro TV setiap Sabtu dan Minggu sore. Judulnya Nanny 911. Di acara tersebut ada tiga pengasuh profesional yang salah satunya ditugasi untuk mengatasi masalah pengasuhan anak dalam sebuah keluarga. Keluarga yang dikunjungi biasanya memiliki masalah yang bersumber dari perilaku anak-anak yang umurnya sampai remaja.

Anak-anaknya beringas, suka memberontak, berteriak, menangis sambil menjerit-jerit, berlarian, berkelahi dengan kakak adiknya, mengacaukan rumah, membuat semua isi rumah berantakan, mencoret-coret dinding, bahkan memukuli dan menendang orang tuanya. Ayah dan ibunya pun, tak sanggup menahan emosi, balas membentak mereka, melarang mereka ini itu, penuh perintah, penuh larangan, sesekali memukul. Hubungan mereka tak terlihat seperti orang tua dan anak, tetapi seperti seorang atasan dan bawahan. Ayah dan ibu pun beradu pendapat tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kekacauan perilaku anak-anak mereka. Mereka berkelahi di depan anak, kemudian ditegur pengasuh bahwa anak tak boleh tahu ketika orang tuanya berkelahi, dan terkadang mengucapkan kata-kata kasar. Ketika anak mengumpat, diketahuilah dari siapa ia belajar. Anak selalu meniru orang tuanya. Saya pun sadar ketika masalah bersumber dari anak, sebenarnya sumber masalahnya adalah orang tuanya.

Sang pengasuh pun turun tangan. Ia memberikan saran kepada ayah atau ibu setiap kali anak mereka bertingkah melewati batas. Biasanya anak akan diberi hukuman “time out”, ia harus berdiam di sebuah tempat, kursi pojokan atau kamar yang tak dikunci, selama lima menit dan baru boleh beranjak dari sana setelah waktu habis. Bila anak sudah pergi sebelum waktu habis, orang tua harus meletakkan anaknya lagi, dan anak mau tak mau harus diam di sana selama lima menit. Di situlah saya belajar tentang konsep hukuman.

Namun, hukuman saja akan membuat anak mengecap bahwa dirinya selalu salah. Maka setelah anak melakukan hal baik, seperti membantu ibunya mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin cuci, ibu wajib mengucapkan terima kasih. Bahkan kalau bisa sampai memeluk dan menciumnya agar anak tahu bahwa ia telah melakukan hal yang baik. Karena bila tidak mendapatkan perhatian dari kebaikannya, anak kan mencari perhatian melalui kenakalannya.

Ketika orang tuanya bisa menjaga perilaku dan ucapannya, tegas menghukum anaknya, tak segan memuji dan berterima kasih setiap kali anaknya berbuat baik, sang anak pun menjadi anak yang penurut dan berperilaku baik. Kemudian keluarga tersebut penuh ucapan sayang, pelukan, kecupan di pipi dan kening, setiap anggota tahu kewajibannya masing-masing, keluarga tersebut menjadi begitu harmonis. Kemudian saya membandingkan hal tersebut dengan keluarga umumnya di Indonesia.

Konsep hukuman tidak dijalankan dengan tegas oleh beberapa orang tua, dengan alasan reaksi yang terlalu keras pada anak akan membuat mereka semakin memberontak, padahal menurut psikolog, hal itu bertujuan agar orang tua tetap memegang kendali. Terlebih konsep penghargaan. Membantu orang tua dianggap kewajiban seorang anak sehingga tak perlu penghargaan. Ketika anak berprestasi di sekolah pun, reaksi orang tua akan biasa saja, hampir tak pernah diberi hadiah. Namun bila prestasinya menurun drastis, orang tuanya akan marah habis-habisan, menganggapnya terlalu banyak bermain sampai-sampai menghukum secara berlebihan. Sampai anak merasa orang tuanya tak pernah bangga pada dirinya.

Apalagi ucapan sayang, pelukan, dan kecupan. Mungkin kita merasakannya hanya sampai umur enam tahun. Setelah itu, kita dianggap terlalu besar untuk diperlakukan seperti itu. Orang tua pun hanya menjalankan kodratnya: mencarikan nafkah, menyekolahkan, memberi makan anaknya sampai anak tumbuh dewasa. Akhirnya tak terasa kita menyentuh umur pubertas, mengenal cinta pada lawan jenis. Kita mengenal konsep cinta yang lain. Diperburuk dengan ungkapan cinta dari orang tua yang sudah berhenti selama sekitar kurang lebih delapan tahun, kita pun mulai lupa cara mengungkapkan rasa cinta pada orang tua. Kita terlalu gengsi untuk memeluk dan mencium pipi mereka, apalagi mengatakan betapa sayangnya kita pada mereka. Lebih mudah memberikannya untuk orang lain yang kita sayangi. Kemudian ketika memilih keinginan sendiri, sedangkan itu bertentangan dengan keinginan orang tua untuk kita, kita akan semakin jauh, bahkan bisa meninggalkan mereka. Lagi pula sudah ada orang lain yang mampu menggantikan kekosongan selama bertahun-tahun lalu dan ke depannya. Hal itulah yang saya takutkan. Tak ada keluarga yang sempurna, juga keluarga saya. Oleh karena itu dalam Saujana kali ini, saya ingin belajar dari teman-teman tentang bagaimana caranya mengungkapkan rasa sayang kita kepada orang tua.

Yang saya harapakan ketika akan menikmati sebuah cerita bertema keluarga, baik dalam bentuk novel atau film, hanyalah cerita tentang keluarga yang tidak sempurna, seperti di kenyataan, yang berusaha keras agar keluarganya tetap harmonis. Yang sadar betapa cintanya sang tokoh kepada orang tua dan saudara kandungnya ketika semua anggota keluarganya masih lengkap. Yang telah sadar sebelum ada yang meninggal. Dan saya bisa belajar darinya. Oleh karena itu, cerita yang mengandung ide kesadaran setelah salah satu anggota keluarga meninggal saya beri nilai pengurang. Selain ekspektasi saya kurang terpenuhi, hal itu klise dalam tema keluarga. Sampai-sampai delapan dari empat belas cerpen yang ikut serta mengandung ide “kesadaran setelah kematian” tersebut. Namun kalian, melalui cerpen-cerpen kalian, tetap berhasil mengajari saya betapa pentingnya arti keluarga. Terima kasih banyak. Hormat saya untuk kalian.

Kita mungkin tak bisa memilih orang tua yang kita inginkan, yang akhirnya membentuk kita seperti ini, tetapi kita tetap bisa menciptakan hubungan keluarga yang selalu harmonis dengan segala keterbatasannya, tak peduli ada jarak merentang atau tidak. Maka cintailah orang tua kita, berikan kecupan dan pelukan serta ucapkan sayang selama masih dekat. Ingatkan mereka untuk makan. Rajin menghubungi bila sudah jauh nanti. Sesungguhnya mereka pun butuh itu dari kita.

Jakarta, 8 Oktober 2012

Marli Haza Fauzi H.

No comments: