Wednesday, October 17, 2012

Saujana Dalam Sketsa

Kemarin sore, seorang senior di kantor mengirimkan gambar sketsa seperti ini:
 

Terima kasih kak Arik Mariyanti :)

Tuesday, October 9, 2012

Pengumuman Pemenang


A.      KOMENTATOR TERBAIK

Komentator terbaik mendapatkan pulsa sebesar Rp25.000 dari RC Tour Travel. RC Tour Travel  menyediakan tiket pesawat, voucher hotel, tiket KAI, paket pariwisata, paket umroh dan bus pariwisata. RC Tour Travel, solusi mudah perjalanan kita.

Dia adalah Dianita Rizkiani dengan komentarnya di Kalaza Cinta Pertama karya Rizmy Otlani Novastria, yang berbunyi:

“Bagus, Riz J diksinya sukses nyembunyiin tema yang sebenarnya sampe akhir, kereen :D”.

B.      JUARA 2 CERPEN

Juara kedua mendapatkan Nourishing Cream, produk dari Oriflame, yang dapat menghaluskan kulit tangan kita yang menghabiskan banyak waktu di keyboard komputer. Agar tangan tetap halus dan lembut meskipun terus dipakai untuk merekam FIS, SPT, dan LPAD, atau mengetik cerita-cerita pendek berkualitas lainnya di ruangan ber-AC.

Dia adalah Zahara Auliya untuk cerpennya yang berjudul “Ninda” dengan nilai 253.

C.      JUARA 1 CERPEN

Juara pertama mendapatkan Feet Up Overnight Moisturising Cream, produk dari Oriflame, yang dapat mencegah kaki dari kapalan dan bau kaki setelah bermain futsal atau setelah memakai pantofel terlalu lama. Gunakan sehabis mandi. Telapak kaki takkan terasa tebal apalagi pecah-pecah dan bau jempol! Bukan hanya itu, juara pertama juga mendapatkan pulsa sebesar Rp50.000 dari RC Tour Travel.  Harga tiket lebih murah daripada harga tiket resmi dari maskapai* lho!

Dia adalah Galih Rakasiwi untuk cerpennya yang berjudul “Sehabis Hujan” dengan nilai 255.

***

Para pemenang akan saya hubungi melalui PM FB. Oh ya, agar lebih tahu jenis-jenis jasa yang ditawarkan RC Tour Travel, teman-teman bisa mengunjungi web: http://www.rctourtravel.com/ atau menghubungi adminnya sendiri melalui akun gtalknya: rc.tour12@gmail.com. Dan kalau mau tahu juga produk Oriflame lain, teman-teman bisa mengunjungi alamat http://id.oriflame.com/products/catalogue-viewer.jhtml?per=201210 atau menghubungi teman kita, Putu Gian Aryanti, dengan akun gtalknya: putu.gian.aryanti@gmail.com.

Terima kasih kepada para peserta, pembaca, juri, komentator, dan sponsor. Sekian Saujana dengan tema keluarga. Sampai berjumpa lagi di Saujana berikut dengan tema yang tak kalah menarik lainnya. Semoga dengan peserta yang lebih banyak dan hadiah yang lebih besar. J

***

NB: Dapatkan potongan khusus bagi pegawai diperbantukan DJP yang membeli tiket pesawat di RC Tour Travel (cukup dengan menyebutkan NIP SIKKA).

***

1.       Dua Sore – Dwiyanto Yanuar dengan nilai 232
2.       Remembrance – Dwiyanto Yanuar dengan nilai 234
3.       Hujan Kesekian – Heru Irfanto dengan nilai 237
4.       Rindu – Anonim dengan nilai 241
5.       Despair – Harnangga Ilham dengan nilai 246
6.       Tom – Ilham Amanah Rangga dengan nilai 246
7.       Kalaza Cinta Pertama – Rizmy Otlani Novastria dengan nilai 248
8.       Ketabahan Bapak – Gita Wiryawan dengan nilai 250
9.       Sepotong Apel Merah – Wahyu Widyaningrum dengan nilai 251
10.   Klise Saja – Andrew Sinaga dengan nilai 252



Wednesday, October 3, 2012

Memento Untuk Ayah

Gue benci banget sama bokap gue! Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Bikin bete!”

Ingin sekali kutampar mukanya saat itu.

Lo harusnya bersyukur, masih punya bokap yang masih bisa merhatiin lo.”

Lalu kami terdiam, ditemani sebotol bir yang sudah tak lagi dingin dan gelas yang sekarang hanya berisi angin.

---------------------

Orang-orang sok bijak di jejaring sosial seringkali berkata, “Kita tidak pernah tahu arti pentingnya seseorang, sampai kita kehilangan orang tersebut.” Aku tidak setuju. Orang bisa datang dan pergi, dan seringkali, kita tidak merasakan apa-apa. Menurutku, kita tidak pernah benar-benar tahu arti pentingnya seseorang, sampai kita bisa merasakan penyesalan yang teramat sangat ketika kita mengecewakan orang tersebut. Aku tahu benar rasanya. Rasa marah pada diri sendiri yang teramat dalam, menyesali kebodohan-kebodohan yang dulu kulakukan. Kepada ayahku. Yang baru kusadari ketika ia pergi selama-lamanya meninggalkan diriku.

Ayahku adalah seorang yang sangat konservatif, baik dari agamanya, maupun dari sisi ke-Jawa-annya. Menurutnya, seorang anak tidak boleh membantah perkataan orang tua, tak peduli orang tua itu benar atau salah. Masih teringat benar, bagaimana sedari kecil aku dilarang untuk melakukan ini dan itu. Tidak boleh main ke sana dan ke situ. Bahkan ayah pernah menyita buku Charles Darwin milikku. Namun, jiwaku memberontak. Aku menentang perkataannya. Aku tak mengindahkan larangannya. “Anak itu kalau dikasih tahu orang tua, harus nunduk dan jangan membantah!”, demikian ujarnya tiap kali kami berselisih. Mendengarnya aku merasa risih. “Lihat tuh, anak-anak kampung sini! Kalau dinasehati orang tuanya nggak ada yang bandel. Nggak kayak kamu!”, katanya sambil mengarahkan telunjuk ke arah rumah tetangga. Menjemukan. Namun aku tak juga peduli. Memangnya, orang tua itu pasti selalu benar dan sempurna? Memangnya seorang anak tidak punya hak untuk mengajukan pembelaan dan harus sendika dhawuh terus-terusan? “Hidupku ini hidupku sendiri!”, ujarku sambil bersikap pongah seakan sudah bisa menaklukan dunia.

Di mataku, ayah bak seorang presiden sebuah negara otoritarian. Dan aku yakin, di matanya, aku seperti mahasiswa anarkis yang bisanya hanya teriak-teriak tak keruan. “Nak, Nak, kamu nanti kalau sudah besar jadi pengacara saja. Sudah cocok sama sifatmu yang suka ngeyel itu.”, begitu kelakar ayah sambil tertawa di suatu senja. Aku tak tahu, dan tak akan pernah tahu, apakah dia tertawa karena leluconnya, atau sedang mencoba menghibur diri dari kegetiran hatinya saat melihat kelakuan anaknya.

Lalu, pada suatu waktu, aku tak tahu persis kapan, ayah terkena stroke. Ayah memang dari dulu suka makan durian dan sate kambing, perokok berat pula. Dia dirawat sekitar dua minggu di sebuah rumah sakit swasta. Setiap hari aku mengunjunginya, dan hal yang paling tak bisa kumaafkan sepanjang hidupku adalah aku tidak merasa apa-apa. Tidak pula sedih. Hampa. Ketika ada rombongan dari gereja yang mendoakan, aku hanya bisa turut mengamini, tanpa bisa mengimani. Aku bisa melihat pada ayah, ada sorot mata kekecewaan tiap kali aku masuk ke ruangan tempat ia dirawat. Namun, aku tetap saja tidak merasa apa-apa. Tidak bisa. Bahkan, pada detik ketika dia meninggal, tak setetes pun air mataku jatuh. “Memang sudah harus diikhlaskan, daripada ayah tersiksa dengan alat-alat rumah sakit itu,” begitulah aku mencari rasionalisasi. Mungkin saja pada waktu itu hatiku memang sudah mati.

Baru ketika jasadnya sudah ditelan bumi, aku menelaah kembali hubungan kami. Aku baru mengerti, bahwa lawan kata dari cinta bukanlah benci, namun keteracuhan. Ayah yang tidak peduli adalah ayah yang lebih buruk daripada ayah yang suka memarahi. Dan apa yang dilakukan ayah adalah wujud cinta yang sesungguhnya. Ia hanya mencoba melindungi diriku yang masih rapuh dari kerasnya dunia ini. Ketika aku sadar itu, barulah seluruh air mataku tumpah. Aku mengalami penyesalan yang lebih besar dari semua penyesalan yang pernah kualami sepanjang hidupku. Namun semua sudah terlambat. Terlambat untuk meminta maaf dan mengubah sikap. Terlambat untuk menunjukkan rasa cinta dan hormatku kepadanya. Terlambat untuk melakukan hal yang terbaik baginya. Keterlambatan-keterlambatan yang akan terus menghantuiku sampai ajal nanti. Aku meraung, tapi langit tak pernah menjawab tangisanku. Tak akan ada ayah lagi. Aku menyesal. Sungguh sangat menyesal.

---------------------

Suara lagu Soldier of Fortune dari Deep Purple mengalun dari radio di suatu hari sepulang sekolah, membangkitkan semua kenanganku tentang ayah. Ya, ini lagu kesukaannya. Di otakku, imaji tentang ayah membuncah. Aku melihat dia sedang duduk di depan komputer sambil memainkan lagu ini dan memintaku untuk menemaninya mengerjakan pekerjaannya.

Pikiranku kemudian terseret ke belakang, kepada kenangan-kenangan lain tentang dia. Ketika pertama kali ia mengajariku naik sepeda. Ketika pertama kali ia mengajariku memetik gitar. Ketika ia membawaku jalan-jalan berdua saja dengannya. Ketika dia menasihatiku sambil bersantai menonton layar kaca. Ketika dia datang jauh-jauh dari kantor hanya untuk melihatku berlomba. Ah, mengapa dulu aku mempersangkakan yang buruk tentang ayahku? Bukankah dia benar-benar seorang ayah yang baik?

Andai saja dapat kukendalikan waktu, aku hanya ingin kembali lagi ke masa-masa itu, ayah. Menikmati kata-katamu. Mendengarkan cerita-ceritamu. Mengenang wajahmu. Bahkan aku ingin kembali tersesat, agar kau bisa menemukanku lagi dan membawaku dalam pelukmu.

Lagu berhenti, dan setelah itu ayah pun pergi. Meninggalkan aku dengan hati yang sekali lagi sepi. Jujur, setelah itu, aku selalu memainkan lagu yang sama berulang kali. Mencari lima menit di mana dia bisa hidup dan kami bisa bertemu lagi di dalam memori. Karena, bagaimana lagi aku harus mencari jalan untuk kembali?

---------------------

Bir sudah habis, bahkan botol dan gelasnya sudah diangkati oleh pelayan. Kami belum juga beranjak pergi.

Gue pesen minum lagi, yak? Nggak enak sama pelayannya.”

“Terserah lo aja.”

Dua cangkir kopi hangat datang dan dua batang rokok kemudian, kami masih terhanyut dalam keheningan.

“Jangan sampai lo entar nyesel kayak gue. Gue baru tahu, kalau ternyata sikap over-protektif orang tua itu buat kebaikan kita, baru setelah gue kehilangan bokap gue. Gue belajar ini the hard way, man! Gue nggak mau, kalau entar lo baru sadar setelah semuanya terlambat,” kataku membuka kembali percakapan.

Mengapa aku baru sadar ketika semuanya sudah terlambat?

---------------------

Aku suka pergi ke pusara ayah, sendirian. Di malam hari. Ditemani dua-tiga ekor nyamuk yang mengerubuti dan lampu neon depan kuburan yang sudah selayaknya diganti. Hantu? Ada yang lebih menakutkan daripada hantu. Yaitu sesuatu yang terus menempel pada diriku dan membuatku gagal berdamai dengan masa lalu. Aku rasa kalian sudah tahu apa itu.

Aku suka berbicara di depan pusara layaknya orang gila, seakan-akan ayahlah yang di sana kuajak bercengkerama. Meskipun sebenarnya hanya kesunyian saja yang selalu kudengar. Memang seperti inilah biasanya ketika aku bercerita kepada ayah. Seringkali ayah hanya memandangku tanpa berkata apa-apa. Sesekali ia mengajukan beberapa pertanyaan. Atau tertawa. Sungguh, aku suka sekali saat melihatnya tertawa.

Aku melihat tanggal di pusara ayah. Sudah enam tahun. Lama juga ternyata. Ah, bagaimana kelak jika aku sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari sini lalu berangsur-angsur melupakanmu, ayah? Sudikah kau untuk tetap bisa kuajak bercengkerama jika aku menemuimu lagi, di sini, setelah mungkin nanti aku lama tidak peduli?

---------------------

Lo bisa dengan gampang bilang kayak gitu, karena bokap lo itu bokap kandung lo!”

“Apa bedanya? Karena bokap lo bokap tiri? Menurut lo, siapa yang lebih layak disebut orang tua? Dia yang ilang gitu aja? Atau dia yang selalu ada ketika lo butuhkan, saat lo sakit, yang ngawasin lo dari jauh dan siap nolong lo ketika lo jatuh, yang ngasih lo saran buat ngambil keputusan-keputusan yang penting di hidup lo sejak lo kecil, yang mau peduli sama bocah yang bukan darah dagingnya sendiri?”

Aku menghela napas. Lalu melanjutkan.

“Kesalahan lo adalah tentang definisi seorang orang tua. Nggak ada orang tua yang lo bisa patok sempurna. Beberapa memang baik banget, beberapa emang jelek banget, tapi kebanyakan orang tua ada di tengah-tengah, dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing. True perfection has to be imperfect, bro. Meskipun, sikapnya mungkin menurut lo over-protektif, he has always been there for you. Still is. And he has always loved you. Still does. Nggak kayak gue yang udah kehilangan.

Dia menangis. Aku menangis. Menangisi ayah kami masing-masing.

Sedangkan malam semakin mengendap. Hanya kami yang masih menangis merajut harap.

---------------------
 
“Kamu itu mirip sama ayahmu, Nak.”

“Kok bisa?”, tanyaku kepada ibu.

“Ya dari cara ngomongnya, cara mikirnya. Kelihatan paling cuek, tapi sebenarnya yang mikir dan khawatir paling banyak. Kamu kelak harus bisa bikin ayah bangga dari surga sana, ya?”

Aku mengangguk dan tersenyum. Aku bahagia. Karena aku tahu ayahku sedang hidup kembali melalui aku.

Ayah, tolong awasi aku dari sana.


Tugasku baru saja dimulai.

Tuesday, October 2, 2012

NINDA

Untuk semua Ayah terhebat di dunia, Untuk semua Ibu tertangguh di dunia. Untuk semua anak yang terus belajar bagaimana menyayangi orang tua. Dan untuk SAUJANA.

***

Senja selalu memberikan semburat warna yang mengesankan.  Campuran warna jingga lembayung dan sisa-sisa terang sinar matahari. Warna yang romantis bukan? Ah, aku terngiang kata-katanya kala itu. Kami menghabiskan senja bersama duduk di pelataran Masjid megah yang entah kenapa sangat nyaman untuk menghabiskan waktu bersama orang yang spesial. Dia menggenggam tanganku erat dan sesekali menggelayut di pundakku.

“Sudah lama banget Nin kita ga menikmati senja eperti ini?” dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyum yang aku kenal sejak dulu. Senyum yang membuatku jatuh cinta dan selalu jatuh cinta padanya.

“Kita akan lebih sering keluar bareng...” kalimatnya pelan dan menggantung. Ada ragu yang tersimpan dibalik senyumnya. Ah, aku tahu kalimatnya ini hanya untuk membuatku tersenyum. Dan aku tersenyum, meraih kepalanya yang sudah bersandar di pundakku sedari tadi.
“Lihat sini! Senyuuuum...” Fahri dengan segera mengabadikan kebersamaan kami.

“Bagus ga hasilnya?” Lihatlah dia sudah berlari ke arah Fahri yang dengan bangga memperlihatkan hasil karyanya. Senyum di wajahnya membuatku tahu bahwa hasil fotonya bagus. Fahri berbakat soal fotografi. Ingat saat Fahri berhasil memenangkan lomba fotografi sebulan lalu. Dia tak henti membanggakannya dan menjadikannya topik sepanjang hari. Membuatku cemburu.

Fahri berjalan ke arahku. Duduk di sampingku, basa-basi sekedarnya tentang masjid ini yang selalu mempesona. Dan seperti biasanya Fahri dengan segera mengambil seluruh perhatian ke arahnya. Ah, kenapa aku harus berbagi kebersamaan yang seharusnya mungkin lebih indah kalau tanpa Fahri. Pikiran bodoh itu melintas begitu saja di benakku. Lihatlah Ninda kini sudah beranjak pindah ke samping Fahri dan memberikan seluruh pandangan matanya ke Fahri. Begitulah, selalu seperti ini.

Senja semakin meremang dan sudah saatnya kami pulang. Dia menggandeng tanganku. Berjalan bersebelahan denganku. Fahri di sebelahnya terlihat repot membawa perlengkapan kameranya.

“Tunggu di sini ya aku ambil mobil dulu.” Fahri bergegas berjalan ke parkiran menyisakan aku dan Ninda dalam hening.

“Nin?”

“Iya?” jawabnya dengan menatapku lekat.

“Makan malam dulu di rumah ya sebelum pulang?” Dia dengan segera mengangguk. Beberapa menit kemudian sampailah kami di rumah kecilku. Dan jadilah malam ini rumah kecilku ramai. Dia dan Fahri duduk di ruang tengah tertawa bersama saat membuka album foto. Entah apa yang mereka tertawakan. Fahri tipe orang yang tidak banyak bicara. Dia membuatku bertanya apa yang membuatnya begitu spesial bagi Ninda.



“Ninda pengen Papah kenal dulu.” Ingatanku kembali setahun yang lalu. Kalimat Ninda itu jadi terdengar berbeda di telingaku. Ini menjadi penegasan bahwa lelaki ini adalah pilihan anakku.

Sungguh urusan persetujuan ini sangat sulit. Bagaimana aku harus melepaskan anak semata wayangku untuk menjadi bagian hidup orang lain. Melepas tanggung jawabku sebagai Ayah dan mempercayakan orang lain sebagai imamnya. Dulu Ninda selalu mengatakan aku adalah laki-laki paling ganteng sedunia. Tapi akan ada laki-laki lain yang menempati posisiku sebagai laki-laki paling ganteng di dunia Ninda. Aku harus berebut bagian di hati Ninda yang aku yakin sekarang penuh dengan bunga cinta pada Fahri.  Sungguh menakutkan!

Pada akhirnya aku mengalah. Kupeluk Fahri saat dia selesai mengucap akad dan sah meminang putriku. Ada sejuta arti pelukanku. Dan aku rasa Fahri tahu. Dan tatapan matanya mengisyaratkan bahwa aku tak lagi harus ragu. Percayakan Ninda padaku, Yah. Mungkin seperti itu bila tatapannya diterjemahkan dalam kata-kata.

“Aku dulu jelek banget ya? Kurus, kecil, rambut acak-acakan. Ga banget!” Ninda menunjuk foto dirinya yang masih berkepang dua. Aku tersadar dari lamunan dan tertawa. Ingin sekali aku bilang bahwa bagiku, dulu, sekarang dan nanti, kau tetap cantik, Nin. Tapi sayangnya kata-kata itu mampet di tenggorokan. Yang ada aku malah ikut meledeknya. Fahri juga sebelas dua belas, ikut menggodanya. Dia meletakkan album foto dan sibuk mengganti channel televisi. Lihatlah betapa cantiknya dia kalau sedang ngambek! Sekali lagi ingatanku melayang sebulan setelah putriku resmi menjadi istri orang.

“Papah, Fahri sudah beli rumah di Jakarta.” Matanya menatapku hati-hati.

“Papah tahu kan, Ninda ga mungkin jauh-jauhan terus. Fahri di Jakarta dan Ninda di Semarang.” Aku tahu arah pembicaraan ini. Tiba-tiba aku jadi membenci kata perpisahan.

“Papah beneran ga mau ikut Ninda saja tinggal di Jakarta?” Aku menggeleng. Banyak sekali kenangan di rumah ini. Tak mungkin rasanya kalau harus meninggalkannya. Dan saat perpisahan ini menyakitkan. Ninda memelukku dan mennangis.

“Ninda sudah pesen ke Bulik Ratih buat terus nengokin Papah. Mbok Jah juga akan terus ngurusin keperluan Papah. Kalau ada apa-apa telpon Ninda Pah...” Aku menggangguk. Ini tentu saja menyakitkan. Mana pernah Ninda pergi lama dari rumah. Paling lama paling sebulan waktu dia KKN di luar kota dulu. Itu saja aku bolak-balik menelpon memastikan keadaannya. Dan kini, aku harus siap melepasnya pergi bersama suaminya ke kehidupannya yang baru. Mataku berair. Segera kuusap agar Ninda tak boleh melihat Papahnya menangis.

“Jam berapa pesawatnya Nin?”

“Jam 11 Pah, sengaja ambil yang paling malem. Dari sini ntar jam sepuluh lebih dikit biar ga kesusu” Kulirik jam di tembok, pukul 21.30. Masih ada setengah jam. Ya, kebersamaan ini tinggal setengah jam lagi. Kulihat Ninda sudah sibuk membereskan tas dan beberapa bungkusan oleh-oleh. Fahri duduk di sebelahku.

“Ayah, kalau mau ke Jakarta telpon Fahri ya? Nanti Fahri jemput Ayah.”

“Pokoknya Papah akhir Oktober udah mesti di Jakarta. Ninda maunya Papah nemenin Ninda pas lahiran nanti. Ga ada tapi-tapian ya Pah. Urusan rumah biar Mbok Jah yang urus.’”  Ninda masih dengan lipatan-lipatan pakaian sibuk mengultimatumku. Kalau sudah begini aku hanya bisa mengiyakan kata-katanya. Sedari Ninda kecil aku memang tidak bisa bilang tidak pada putri kecilku ini. Kecil? Hei lihatlah dia kini sudah siap menjadi seorang Ibu.

Rumah kembali sepi setelah Ninda dan Fahri berpamitan pulang. Aku masuk setelah taksi yang mereka tumpangi hilang di ujung jalan. Ijah sudah pamit pulang tadi jam 9 malam. Suaminya sudah menjemputnya pulang. Tinggal aku dan dinding-dinding rumah penuh foto Ninda. Dinding-dinding ini jadi obat kangenku pada Ninda.

Kuambil foto di meja samping tempat tidurku.  Foto seorang wanita yang bagiku adalah wanita paling cantik di dunia.

“Sayang kau tak sempat melihatnya tumbuh dewasa Sof.” Kembali suasana haru menarikku. Tak terasa butir-butir bening mengalir dari mataku. Jika sudah sendiri di kamar aku tak lagi bisa membendung butiran air dari mataku ini.

“Kau pasti bangga padanya.” Kupejamkan mataku. Ingatan-ingatan masa lalu satu per satu menghampiriku. Kuliah, lulus dan bekerja dengan penghasilan yang lumayan sebagai pegawai negeri sipil. Menikah di usia kedua puluh delapan dengan gadis yang paling kucintai. Membangun keluarga kecil bersamanya. Pindah ke rumah baru. Menanti kehadiran seorang malaikat kecil di kehidupan kami. Semua itu sangat membahagiakan.

“Pak, selamat anda sudah menjadi seorang Ayah.” Dokter itu menyalamiku. Mungkin itu prosedur atau entah apa tapi selalu begitu yang diucapkan dokter kepada pasien saat memberikan kabar. Termasuk kabar berikutnya.

“Tapi, maaf, kami sudah berusaha semampu kami untuk menyelamatkan Ibunya. Tuhan berkehendak lain. Nyonya Sofia tidak bisa diselamatkan karena pendarahannya terlalu banyak.” Langitku runtuh malam itu. Bagiku Sofia adalah hidupku. Tapi kini, Tuhan begitu mudahnya mengambil dia dariku. Aku menangis bahkan sampai Sofia selesai di makamkan. Sorenya, Ratih, adikku memaksaku menengok bayiku. Bayi yang dilahirkan Sofia sebelum dia menghembuskan nafas terakhir.  Bayi yang aku pikir sebagai penyebab istriku meninggal.

“Mas Arif, putrimu lucu sekali Mas. Matanya mirip Mbak Sofi. Coba sini Mas.” Ratih sudah menggeretku mendekat ke box bayi. Aku melihatnya ragu-ragu. Wajahnya begitu polos, kulitnya masih merah dan bergerak-gerak lemah. Dan benar, mata bayi mungil ini mirip sekali dengan Sofi. Aku melihatnya menatapku damai penuh ketenangan. Hari itu aku sadar aku jatuh cinta lagi. Cinta yang sangat dalam dan dengan sensasi berbeda. Mungkin inilah bentuk cinta orang tua pada anak. Dan 25 tahun berlalu nyatanya cinta ini tidak berubah sedikitpun. Ninda tetap membuatku jatuh cinta setiap kali menatapnya.

Dear Papah,

Jangan lupa makan teratur. Di kulkas ada buah, di makan ya Pah. Jangan tidur malam-malam. Besok Ninda telpon Papah. Ninda sayang Papah :)

Lihatlah Sof, tidakkah anakmu ini romantis sekali?

Remembrance

Perawakannya mungil. Rambut tipis panjang dengan poninya menyamping ke kiri dengan bando warna pink yang tiap hari melengket di atas rambut, bando penghias tanpa punya nilai guna lainnya. Badannya bulet. Pipinya yang tembem menegaskan perbedaan manis dan gemuk. Aku satu SMP dengan dia, temen pertama yang aku kenal waktu SMP. Satu sekolah, satu kelas, dan satu bangku. Kami dipertemukan dengan proses tak wajar. Telat datang ke sekolah pertama kali dan teronggok di bangku pojok belakang. Vita yang cerewet dengan hiasan celoteh gilanya. Supel tapi juga gampang nangis. Easy going, setia, dan klop sama temen-temen yang sesama gila.

3 tahun kami bersama di satu tempat pendidikan yang sama, bahkan satu bangku yang sama. Sebegitu banyak kedekatan kami seperti masih belum tercukupkan. Kami memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di SMA yang sama. Berharap berada pada satu kelas, tentunya juga bangku yang sama. Itu harapanku, bukan dia.

Bolos pelajaran, nyuri singkong di kebun orang, badminton di lapangan tenis dengan lebar lapangan sesuai dengan yang ditempati, atau berteduh di bawah pelukan sejuk perbukitan. Dan semuanya, berdua. Kami akrab, kami lekat dan karena saking akrabnya, setiap orang menyalahartikan status kami. Setiap orang, termasuk aku sendiri.

Orang lain menganggap kami ini pasangan, sedang terbuai dengan gejolak perasaan layaknya kawula pada umurnya. Bagi mereka itu adalah anggapan, tapi bagiku itu adalah harapan. Ya, aku jujur dengan perasaanku ini. Sayangnya aku mengungkapkan kejujuran itu hanya pada langit-langit kamar yang kemudian aku menyebutnya plafon. Tak sekalipun terungkap kepada satupun objek lainnya.

Aku cukup menikmati kedekatanku dengan Vita. Untuk saat ini, aku pikir itu cukup. Aku tidak mempermasalahkan status kami. Memcium bau parfum yang sama di setiap baju yang dipakainya, mengabsen bando pink yang selalu ada di rambutnya, atau memastikan dia selalu datang tepat waktu sampai rumahnya dengan motor bututku. Aku tau semua tentang Vita, hobi badmintonnya, makanan favoritnya, toko baju langganan sampai ukuran sepatunya.

Aku menerima penganggapan Vita bahwa aku sahabat baiknya. Sekalipun tentunya aku berharap lebih, tapi aku enggan untuk mengungkapkannya. Aku jadi seperti daun gugur di atas sungai kecil. Bergerak ketika air takdir kedekatanku dan Vita mengalir, kemudian tenggelam dalam arus kebahagiaan karena tertimbun tetesan kenangan. Aku tertawa ketika Vita tertawa, aku bersedih ketika Vita tersedu. Ya, aku Cuma jadi semut yang berada di tengah-tengah barisan yang sedang merambat mengikuti semut yang ada di depannya.

Malam ini aku terlambat terpejam. Sengaja, karena sesi curhat akan segera aku mulai. Personifikasian langit-langit kamarku menjadi teman curhat sudah jadi ritual beberapa malam terakhir. Plafon tetap tenang, diam, dan selalu sabar menerima ceritaku, entah itu curhat atau sekedar pembenaran tentang jalan yang kuambil. Plafon selalu mengerti tanpa pernah memprotes keputusanku. Tapi entah mengapa malam ini Plafon tampak suram. Aku mencoba bertanya hingga kutemukan jawaban pada diriku sendiri.

“Plafon, aku bahagia dengan keadaanku saat ini. Kedekatan ini adalah kenyamanan. Aku memang menginginkan lebih tapi setiap harapan tak harus jadi kenyataan.”

Sejenak aku terdiam. Terhenyak dengan pernyataan klise ku sendiri. Hati ingin lebih tapi raga tak ada aksi. Ya, klise ini menumbuhkan pertanyaan baru. Sampai kapan? Sampai kapan hati mampu bersabar menjaga perasaan tetap berkubang di liangnya? Terkubur tapi tetap menghidupkannya. Menyala tapi tak sampai berkobar menyulut api sekitarnya. Indera begitu lelah, biarlah pertanyaan ini kucari jawabnya dalam lelap malam ini.

Waktu bukan sahabat yang bisa mengerti keadaan. Siap atau tidak, dia memaksa kita untuk menghadapi kehidupan. Suatu malam di semester terakhir SMA, plafon memaksaku membalikkan badan. Sedari tadi aku takut memandangnya. Kutengkurapkan badan menghempas di kehangatan pelukan kapas kasur. Membenamkan muka di pelukan bantal. Plafon semakin berani mengungkap ketidakbetahan menyimpan perasaan. Makin hari, aku makin terpojok dan makin lelah mencari pelarian dan alasan. Plafon selalu menang.

“Iya, aku mengerti, Plafon. Aku mengharapkan tapi aku tak bergerak mewujudkan”. Aku memejamkan mata, tapi Plafon menahannya. Tak mengizinkanku menghindar. “Baik, aku akan menunjukkan ini secara samar. Aku terlampau takut untuk menampakkan diri secara langsung”.

...

“Satria, kamu dateng jam berapa tadi? Tau gak siapa yang naroh bunga ini di meja? Udah 3 hari berturut-turut dapet bunga gini” Vita bertanya pada seseorang yang sebenarnya orang itulah yang menaruh bunga di meja Vita.

“aku gak tau siapa yang naruh bunga itu. Tadi aku cuma bentar di kelas, trus mampir ke kantin sarapan”, jawabku.
“buat aku atau gimana nih? Jangan-jangan salah ngasih, haha” Vita bergurau.
“kalo bukan buat kamu ngapain di taruh meja kamu, tiap hari lagi. Dari penggemar rahasia tuh,” jawabku sekenanya. “Vit, coba denger lagu ini deh. Asyik lho”, aku mencoba mengalihkan pembicaraan ke tema baru.
“mana coba?” Vita menarik sebelah headset yang sebelumnya berada di telingaku.

Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin ku kenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu

“ah iya bener Sat, walaupun udah agak lama, tapi tetep enak juga lagu ini. Selow…gitu” Vita sok menilai. Sesaat kemudian Vita memasukkan bunga ke dalam tasnya dibarengi senyum kecil tersungging di sudut bibirku. Biarkanlah Vita bertanya-tanya dan mendapat jawaban pada saat yang tepat kelak.
Beberapa hari belakangan aku semakin sering menaruh hadiah-hadiah kecil di laci meja Vita. Bunga, coklat kecil, gantungan kunci. Dan aksiku berhenti tepat seminggu sebelum UNAS.

“Plafon, aku lelah bersembunyi di balik hadiah. Aku lelah menjadi abu-abu yang bukan hitam atau putih. Aku lelah menjadi miring yang bukan tegak atau berdiri. Aku juga telah lelah menjadi sore yang bukan siang atau malam”, curhatku pada langit-langit kamarku. “aku harus keluar. Mungkin aku bisa menjadi putih atau hitam, tegak atau berdiri, siang atau malam. Aku tak peduli yang penting aku keluar”



Besok adalah malam perpisahan SMA. Dan, ya, aku masih berkutat dalam tempurung keraguan. Masih terpendam dalam gundukan ketakutan. Takut akan penolakan atau bahkan kerusakan ikatan kebersamaan.

“plafon, besok terakhir kali kami bertemu di sekolah. Dan aku masih setakut ini”. Aku memandang plafon yang menggertakku. “benar plafon, aku tak bisa terus begini. Aku tak peduli, aku harus menampakkannya dengan jelas. Begini plafon, jika memang dia menerimaku, maka kami akan bersama. Tapi jika sebaliknya, biarkan aku menghilang dari kehidupannya.

Malam ini meriah, layaknya acara perpisahan SMA pada umumnya. Alunan musik dari band lokal SMA bergiliran dengan pementasan tari dan pembacaan puisi. Semua orang termasuk Vita yang duduk di sampingku hanyut dalam suasana.

Ah, rupanya guru di sekolah kami tak mau kalah. Satu persatu menaiki panggung dan bernyanyi bersama. Wow lagu ini. Aku suka lagu ini, Vita juga.
“Satria, dengerin tuh. Lagu kesukaan kita dinyanyiin sama guru-guru” Vita memberitahu hal yang sudah kutahu. Hanya kujawab dengan senyuman.

Suatu hari di kala kita duduk di tepi pantai
Dan memandang ombak dilautan yang kian menepi

Hey, otak cerdas. Ide cemerlang ini. Kenapa tak ku utarakan saja perasaanku saat ini. Momen yang tepat sepertinya tak akan terulang dua kali. Betapa indah kuutarakan perasaan pada Vita dengan backsound lagu kesukaan kami.
“Vit..”
“hem?”
“aku...”
“kenapa? Kebelet pipis? Pasti takut ya ke toilet sendirian?”
“bukan...”
“...”
“aku...”
“...”
“sayang sama kamu Vit”

Vita masih tetap terdiam. Tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Aku tegang, tapi lega. Aku tak peduli jawaban Vita, yang terpenting aku telah keluar dari gundukan ketakutanku selama ini. Lama aku terdiam, begitupun Vita. Sebenarnya Vita sedang memikirkan jawabannya untukku atau dia tidak mendengar perkataanku tadi?

Vita kemudian memecah keheningan, “Sat, yuk ikutan nyanyi dong. Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu. Kemesraan ini ingin ku kenang selalu”.

Apa? Jadi ternyata Vita tak mendengarku? Semua yang aku bicarakan? Pengungkapan perasaan? Tidak mungkin lain waktu ada setitik keberanian seperti ini lagi di benakku. Aku terdiam. Merunduk dan terangguk. Meratapi kegagalanku mengalihkan perhatiaannya dari secuil lagu ke sebongkah perasaanku

!!!

“beeeeeb, kamu udah makan belum?”
Suara itu tiba-tiba membuatku tersadar dari lamunanku. Hari ini, 6 tahun setelah kelulusan SMA. Selalu kenangan itu yang terlintas di otakku ketika aku berusaha memutar waktu ke jaman SMA. Kenangan tentang Vita dan penembakan gagalku malam perpisahan dulu. Aku tersenyum, tanpa penyesalan sedikitpun menyembul di senyum itu.

“masuk beb, kita beli makan bareng yuk” ajakku pada Sarah kekasihku.

Aku mengenal Sarah pertama kali saat perkenalan pegawai baru di kantor. Kami sama-sama pegawai baru di sana dan mendapat asrama yang sama. Hanya berbeda paviliun.

“undangan apa tuh beb?” Sarah menunjuk pada sebuah undangan yang sedang ku pegang.
“undangan reuni SMA. Sekalian buka bersama. Waktunya pas banget lho sama libur kita.”
“asyik dong kamu bisa dateng”
“iya. Kamu mau ikut?” ajakku pada Sarah
“gak deh beb, aku kan juga harus pulang kampung. Lebaran di rumah aja deh. Gak apa-apa kan kamu dateng sendirian?”
“iya gak apa-apa kok”

...

Libur itu pun akhirnya tiba. Koperku sudah siap. Kulangkahkan kaki ke arah paviliun Sarah. Hari itu masih cukup pagi, embun masih enggan pergi dari ujung dedaunan.

“beb, kamu sudah siap?”
“berangkat sekarang? Udah nih. Yuk. Kita naik bus aja ya ke bandara” Sarah menjawab dengan lembut seperti biasanya.
“taksi aja deh. Takut telat sampe bandaranya.” Aku memutuskan.

 Tepat pukul 10 pagi kami mendarat di Juanda. Sarah melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Aku menempuh arah berlawanan ke arah barat Surabaya. Ketika terduduk di kursi bus kulihat sekali lagi undangan reuni SMA ini. Hari ini, pukul 4 sore. “aku pasti datang kawan”, gumamku.

...

Kawan-kawanku rupanya cukup bersemangat. 30 orang dari total 40 siswa di kelasku hadir. Aku datang paling terakhir karena ketiduran setelah kelelahan karena perjalanan tadi pagi. Sepertinya acara sudah di mulai.

“wah..Satria baru dateng. Silahkan ambil tempat. Acara sudah dimulai nih,” Andi sang ketua panitia menyambut. Teman-teman juga mengucapkan salam. Tak satupun dari kawanku SMA ini yang pernah bertemu aku selama 6 tahun ini. Aku kuliah di Jakarta menyusul kakakku.

Kusebarkan pandangan ke segala penjuru. Mencari sesosok wanita yang dulu sahabat akrabku. Itu, dia hadir juga. Tubuhnya masih tetap mungil untuk wanita seumurannya. Kini rambutnya sudah tak berponi. Terlihat lebih dewasa dengan kaca matanya. Satu lagi yang terlihat sangat berbeda, tak ada lagi bando warna pink melingkar di atas rambutnya. Vita terlihat semakin dewasa. Dia melihatku, tapi ketus. Ada apa ini? Dia teman yang paling kucari tapi dia satu-satunya yang tidak menyambut kedatanganku. Oh, aku mengerti. Mungkin dia marah karena aku menghilang tiba-tiba setelah lulus SMA. Tak ada sahabat yang tidak menghubungi sahabatnya selama 6 tahun seperti aku ini. Mungkin itulah sebabnya.

“Ellisa, sekarang giliranmu,” Andi memanggil Ellisa. “ayo ungkapin rahasia terbesar kamu waktu SMA. Setelah Ellisa nanti giliran Vita”

Ellisa mengungkapkan rahasianya tentang kekasihnya sewaktu SMA, Rico yang juga teman sekelas kami. “ayo Vita sekarang giliranmu” Andi memanggil Vita.
Vita memulai pembicaraannya. “Aku dulu menyukai seseorang, dia teman sekelas kita juga. Aku sudah mengenalnya cukup lama, sebelum SMA. Tapi aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Aku takut untuk memulainya, aku takut merusak kedekatan kami selama ini. Tapi aku tau dia memiliki perasaan yang sama denganku”

“kok kamu tau Vit?” Andi menyela.

“malam itu, malam terakhir kita di sekolah. Lelaki itu memakai kemeja warna ungu dengan dasi hitam dan celana hitam duduk di sampingku. Guru-guru di panggung sedang menyanyikan sebuah lagu kesukaannya, kesukaanku juga.

Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin ku kenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu

Di tengah lagu ini, lelaki itu mengungkapkan perasaannya padaku. Akhirnya saat itu tiba. Aku telah menunggunya cukup lama.”
“jadi kalian jadian dong abis itu?” Ellisa penasaran.
“tidak,” jawab Vita. Itulah kebodohan terbesarku. Aku berpura-pura tidak mendengarnya berbicara waktu itu. Saat itu aku berpikir, jika dia memang mencintaiku pasti dia akan mengulanginya sekali lagi. Dia akan mengungkapkan perasaannya padaku sekali lagi.”
“tapi itu tidak pernah terjadi. Dia tidak pernah mengungkapkan perasaanya lagi padamu,” entah refleks atau apa aku menyela pembicaraan Vita. Sontak semua mata tertuju padaku. Aku bingung mengapa aku bisa berbicara seperti itu. Kulihat setitik air mata mengalir di pipi Vita. Dia berdiri dan berjalan ke luar ruangan. Aku juga berdiri dan berusaha mengejarnya.

“maafin aku Vit,” aku meraih lengan Vita memberikan tanda untuk menahannya berhenti. “aku gak ngerti kalo kamu....”
“aku yang bodoh Sat,” Vita memotong. “aku pikir jika kamu serius nembak aku, kamu pasti akan mengulanginya lagi, tapi aku salah,” tangis Vita menjadi.
“maafin aku Vit. Aku gak tau..”
“kamu 6 tahun kemana? Menghilang dari aku tanpa pamit? Aku nunggu kamu sampai aku wisuda tapi kamu gak pernah sekalipun terlihat di hadapanku. Aku nunggu kamu selama itu”
“aku kuliah di Jakarta, nyusul kakak. Aku udah punya keputusan waktu itu. Jika kamu nerima aku, aku gak akan pergi ke Jakarta. Tapi kamu memutuskan untuk aku pergi”

Vita mengusap air matanya. Dia masih berdiri membelakangiku. Sejenak kemudian dia memberikan handphone-nya padaku. Aku melihat di layar handphone Vita. Ada foto Vita berdiri di samping seorang lelaki sambil menggendong bayi.

“Suami dan anakku,” Vita berbalik badan sambil menjawab pertanyaan yang tak pernah kuucapkan tapi terpenjara dalam hati. Vita selalu mengerti apapun bahkan sebelum aku mengucapkannya.

“cantik Vit anak kamu”
“ Vera Listiani Sasmito, sekarang 14 bulan. Ayahnya Hendro Budi Sasmito”
“aku rencananya bulan Agustus ini, tanggal 8. Dateng ya,” aku menjelaskan sambil memperlihatkan cincin pertunanganku yang melingkar rapi di jari manisku.

Dua Sore

Rupanya benar, Arum disini. Tempat yang aku perkenalkan padanya 5 bulan yang lalu. Tempat dimana aku mengutarakan perasaanku padanya. Tempat dimana Arum hanya diam tanpa mengiyakan. Aku memandangnya dari jauh. Tak mungkin dia mendapati keberadaanku disini. Sore itu sore terakhir Arum disini karena senja esok hari Arum akan berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan interview calon perusahaannya.

Aku tidak begitu bisa melihat raut mukanya tapi aku mampu memastikan Arum berulang kali menyeka air matanya. Cukup lama Arum tenggelam bersama kesedihannya.

Sehembus angin dari utara Arum melepas gelang karet di tangan kirinya. Memandangnya sejenak lalu menyeka air matanya lagi. Dari dalam tasnya dia mengambil sebuah kaleng dan secarik kertas. Arum tampak membaca tulisan di kertas itu lalu melipatnya dan memasukkannya ke dalam kaleng. Gelang karet tidak lolos dari kaleng itu. Arum memandang sekali lagi kaleng berisi kertas dan gelang karet itu.

Arum berdiri lalu berjalan tiga langkah ke belakang. Merunduk dan memejamkan mata sembari memeluk kaleng itu erat. Lalu....byurrr dilemparkan kaleng itu ke dalam danau. Arum tak lagi memandang kaleng itu sekalipun. Kembali dia menyeka air mata sambil berlalu menuju motornya. Aku melihat semuanya, semua dari awal hingga Arum pergi. Seketika itu juga aku beranjak dari tempatku dan berlari…
Sore pengantar perpisahan Arum dengan kota ini. Entah sampai kapan. Arum terduduk di barisan kursi. Aku melihatnya dari pintu masuk stasiun sambil menenteng tas ransel kecil. Kaki sepertinya sudah siap menapaki keramik stasiun satu persatu. Kuarahkan ke barisan kursi dimana ada seorang wanita disana.

Ketika aku berdiri di dekat Arum kujatuhkan sebuah kaleng. Sengaja dan berhasil merebut sorot matanya dari lelamunan. Mukanya memang selalu lucu ketika terkaget seperti ini. “Seto…ngapain disini?” Arum dengan nada kagetnya yang tersendat.
“gelang karetnya jelek ya? Kok dibuang?” aku menjawab pertanyaan Arum dengan pertanyaan.
“…ng…?, “ Arum yang sedari tadi tampak kaget sekarang bertambah heran.
“gak suka ya? Coba deh dipake. Keren kok. Kan kembaran sama aku,” aku mencoba mencairkan keheranannya dengan sedikit menjulurkan lidah.
“kok…kamu…” Arum menerima gelang karet itu kembali.
“sini deh biar aku yang pasangin,” Aku memotong kalimat Arum.
“Seto…kamu..”
“Ganteng ya? Aku tau kok. Makanya kamu udah mulai suka sama aku”
“apaan sih..”
“Baik juga. Karena itu kamu berat mau ninggalin aku”
“iiih…” Arum dengan cubitannya di perutku
“kan kamu sendiri yang bilang gitu”
“hah? Kapan aku bilang gitu. Eh…eh…bentar” Arum seraya berdiri mengambil kaleng yang aku jatuhkan. “jadi kamu kemaren…”
“danaunya dangkal kok”

Beg…Arum berlari menabrakku. Melingkarkan lengannya di punggungku dan membenamkan kepalanya di pundakku. Aku meresponnya dengan baik.

“ayah..ibu…,” Arum memanggil ayah dan ibunya yang dari tadi sibuk memilih koran dan majalah. “Kenalin ini lho pacar Arum”. Cukup lantang Arum berteriak ke ayah dan ibunya. Cukup untuk di dengar sekian banyak orang di stasiun sore itu. Cukup juga untuk menjawab semua orang yang melihat pelukan kami tadi. Tentu saja aku sangat kaget. Tapi apa yang bisa kulakukan selain memandang bodoh ke Arum?

“eh…Arum. Apaan sih. Diliatin orang tuh,” kuremas telapaknya yang sedari tadi menggenggam  tangan kananku. Kemudian ayah dan ibu Arum menghampiri kami berdua.
“kalo Seto sih ayah sama ibu udah kenal lama. Kan udah sering main ke rumah” ayah Arum dengan bijaksana
“tapi jadiannya kan barusan,” Arum dengan tanpa malu menjawab enteng.
…..
“Seto, 15 menit lagi keretanya dateng” Arum, tetap dengan tangannya yang menggenggam tanganku. Kali ini sambil terduduk.
“Jadwalnya sih emang gitu kan Arum” aku dengan tampang datar dan biasa saja.
“huh….bego dipelihara sih. Artinya 15 menit lagi kita pisah. Aku gak tau kapan pulang ke sini lagi.”
“oh..gitu.” tetap dengan muka polosku
“huh..” Arum menoyor kepalaku
“aduh, kenapa sih?”
“kamu gak ada sedih-sedihnya mau aku tinggal. Gimana sih” Arum memasang muka sebalnya. Aku tak menjawab apapun hanya tersenyum. Entah senyum bodoh atau senyum sedih.
“tuh keretanya udah dateng” Aku menunjuk pada sebuah cahaya lampu di kejauhan yang membawa suara bising berjalan. Arum masih dengan muka cemberutnya. Melirik sedikit ke arahku lalu membuang pandang ke arah yang sama, kereta.

“ ayah, ibu, Arum pamit ya. Diantar sampe sini saja. Biar Seto yang nganter ke atas. Pamit ibu…ayah..” Arum mencium tangan kedua orang tuanya dan dibalas kecupan manis dari ayah dan ibunya.

“hati-hati nak. Kalau sudah sampai di Jakarta langsung telepon orang rumah. Jaga diri baik-baik”
Aku membawakan tas jinjing Arum di tangan kiri. Tangan kanan masih tergenggam erat di tangan kiri Arum. Mengantarnya ke dalam kereta.

“nomor 7A kan Rum? Disini ya? Tasnya taruh di atas aja ya”
“Iya. Yaudah makasih ya To. Aku berangkat ya.” Arum tampak sedih.
“eh duduk dulu. Keretanya kan berangkat 5 menit lagi. Aku capek tau angkat tasmu itu.”
“tas segitu aja bikin capek. Lemah kamu To.”
“oh iya nih, lupa ada satu yang belum aku kasih ke kamu. Baca bareng yuk”
“ha…suratku. Gak mau. Aku malu” Arum menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya.
“kalo gitu aku yang baca. Kamu dengerin”

Seto, maafku yang pertama. Dulu aku belum bisa terima kamu. Emang sih waktu itu aku belum siap. Aku masih takut sakit di masa laluku terulang
Maafku yang kedua. Seiring waktu yang berjalan aku mulai menyukaimu dan ingin memilikimu. Tapi aku hanya menunggu dan semakin hari semakin membohongi perasaanku dengan menutupinya darimu. Setiap hari aku menunggumu. Menunggu kamu mengulangi kisah sore di danau itu. Maaf atas kebohongan kepada diriku sendiri.
Dan ini maafku yang ketiga. Sepertinya aku sudah harus berhenti menunggumu. Biarkan aku pergi dan meninggalkan memori tentangmu di dalam kaleng ini. Terbawa hanyut di danau dan terbenam dengan tetesan hujan yang mendebit.
Maafkan aku Seto. Selamat tinggal.

“hahaha…aku malu To. Hahaha…eh…eh…keretanya jalan To. Sana lari” Arum berubah dari tertawa malu menjadi panik.
“lari kemana Rum?”
“turun lah, kemana lagi, dasar o’on. Nanti keburu keretanya kenceng kamu gak bisa turun.”
“masa gak ada cium perpisahan dulu?”

Cup…pipi kiri mendapati sebuah bibir manis mendarat disana. “gitu dong…” aku tersenyum tetapi tak beranjak sedikitpun dari tempat dudukku.

“udah sana…tuh keretanya makin kenceng kan. Buruan…”

“ini bener kursi nomor 7B kan?” aku bertanya pada Arum sembari mengeluarkan sebuah tiket. “menurut kamu buat apa aku ke stasiun sambil bawa tas ransel?”
Arum hanya tersenyum manja. Tanpa menjawab sekalipun. Hanya pelukan yang menjawab semuanya. Ya, serta sepasang senyuman.
Kereta berjalan dengan pasti menyusuri alurnya. Sebuah sore, bukan tapi dua sore.

Despair

Hidupku tak lagi sama. Tak ada senyum yang tulus menyapaku setiap pagi. Tak ada lagi mengingatkanku jika aku telat bangun subuh atau lupa membuatkan susu untuk Andi dan Alisa. Tak ada lagi yang memarahiku saat aku mengeluh dan menguatkan aku. Tidak ada.

Suamiku, pemilik sepenuh hidupku, penanggung jawab atas hidupku, diminta oleh Sang Pemilik Waktu untuk segera mengisi surga. Dan aku ditinggal disini sendiri tanpa pesan apa-apa, tanpa jaminan aku akan menyusulnya ke surga.

Aku tahu aku harus membeli jalanku sendiri ke surga. Aku tau aku tak boleh menyalahkan keadaan, tapi tanpa suamiku, aku hanyalah pendosa yang lain yang berkleliaran di muka bumi.

Air mataku tidak bisa habis. Pria pemilik segala alasanku untuk tetap hidup sudah mendahuluiku. Tanpa memberikan pesan apapun, tanpa memberi isyarat apapun. Walaupun jika diberi isyarat pun, aku tak akan pernah mau kehilangannya. Tak akan pernah.

“Aku pergi dulu, Ma.”

Andi. Anak sulungku dari Lelaki yang luar biasa. Dia adalah anak remaja yang gejolaknya masih meletup-letup. Kehilangan ayahnya karena kecelakaan beruntun di jalan tol setahun lalu justru membuatnya seakan tak memperdulikanku. Aku pun sudah tak terlalu memperdulikannya. Aku sibuk dengan kesedihanku. Aku sibuk membiarkan air mataku mengalir.

Andi bukan anak nakal. Setidaknya itu pengakuannya. Kesibukannya di ekskul basket, paskibra, dan futsal membuat rumah ini hanya hotel untuk menginap dan mandi. Kubiarkan saja selama ini. Kupikir, setiap kegiatannya juga untuk memupus kesedihannya. Atau dia tidak sedih sama sekali. Aku tidak tahu. Yang kutahu nafasku tidak pernah lagi setenang dulu.

“Dana, laporan yang kemarin mana? Yang milik PT DERPI? Harus selesai sore ini lho?”

Ah, bosku. Laporannya harus kuselesaikan sekarang juga. Kupikir enak sekali jadi bos di kantor seperti ini. Para karyawan yang pintar dan bekerja keras, mereka yang dipuji. Mereka yang diberi gaji tinggi. Padahal beban kerja kami lebih berat.

Disinilah aku. Menggunakan waktuku untuk mengumpulkan sepeser rupiah agar Andi dan Alisa mampu makan dan sekolah yang layak. Menjual waktuku untuk para bos berperut gendut yang sering menggodaku diluar jam kantor. Aku memang janda. Tapi aku tidak rindu kepuasan biologis. Aku lebih butuh kepuasan psikologis. Dan aku yakin, tak ada pria yang mampu memberikan nyawanya untukku, seperti yang dilakukan suamiku.

Suamiku yang mengangkat dan menyelamatkan aku dari dalam mobil yang terguling itu. Menggendongku ke puskesmas 24 jam terdekat yang berjarak 4kilometer. Dia menggendongku hingga depan puskesmas dengan perut yang berlubang. Dia meregang nyawa karena kehabisan darah di depan pintu puskesmas, dengan aku yang tak sadarkan diri di pelukannya.

Jadi jika mereka pikir aku akan dengan mudah tergoda oleh kepuasan biologis dan uang yang mereka tawarkan,mereka salah. Aku tak akan menjual hatiku selain kepada satu Pria yang memiliki setiap degup jantungku.

“Baik, Pak. Akan saya kerjakan segera. Dan tolong singkirkan tangan bapak dari pundak saya.”

Bosku merengut kesal. Aku meneruskan pekerjaanku. Mencoba mereasakan lelahku. Aku rindu sekali lelah. Aku bosan sedih. Tapi setiap aku mencoba mengukir senyum di bibirku, wajah suamiku yang terlintas disana. Kemudian yang terjadi, air mataku jatuh dengan cepat ke bumi. Meninggalkan aku bersama kesedihanku.

“Hari ini kita lembur! PT HERPI minta diselesaikan besok pagi. Semua pegawai harus menyelesaikan semua berkasnya sebelum tengah malam!”

Ah, saat yang tepat. Semoga aku segera lelah. Dan pulang. Aku harus menelpon penjaga Alisa kalau aku pulang lebih larut. Walaupun itu artinya aku harus membayarnya lebih.

Alisa masih berumur enam tahun. Terlalu kecil untuk ditinggalkan sendiri di rumah. Karena itu aku menyewa pembantu untuk menjaganya selama aku bekerja.

“Waalaikumsalam, Mamaaaaaa.”

Sebuah suara kecil menyambut salamku ceria saat aku masuk rumah.

“Mama. Aku tadi liat topeng monyet, Ma. Lucu banget. Tapi kasian di rantai. Aku kasih uang jajanku semua buat monyetnya. Buat maem.”

Aku hanya tersenyum dan mengambil segelas air.

“Monyet sukanya makan pisang kan, Ma? Kenapa ga dikasi nasi aja ya, Ma? Adek maemnya nasi terus jadi gendut gini. Kalo monyetnya maem nasi kan bisa gendut kayak adek. Ga kurus gitu.”

Aku kembali terseenyum dan menghempaskan badanku ke kursi.

“Monyet tinggalnya dimana sih, Ma? Ko aku jarang liat? Aku banyaknya liat kucing, burung, belalang, ikan. Baru tadi liat monyet abis dikasih tau Riza.”

Senyumku kusimpan. Aku meneguk air yang kuambil tadi.

“Monyet kalo udah gede seberapa ya, Ma!”

“ALISA MAMA CAPEK! TANYANYA BESOK AJA. LAGIPULA KENAPA KAMU JAM SEGINI BELUM TIDUR!”

Gadis kecil itu kaget terdiam. Kelelahanku membuat aku malas mendengar omelannya. Lagipula malam hari adalah waktu aku untuk menangisi kemalanganku.

Lima detik kemudian dia berlari sambil menangis. Dia berlari ke kamar Andi, kakaknya. Seketika dadaku sesak. Apa yang kulakukan. Aku membentak anakku sendiri. Buah hatiku dengan lelaku sempurnaku. Aku mengikutinya memasuki kamar Andi.

Aku melihat Alisa memeluk kakaknya dengan terisak-isak. Aku hanya diam di depan pintu. Mata Andi tajam mengarah ke mataku. Aku menyesal membentak Alisa. Aku telah membuatnya sesedih itu.

“Huaaaaa. Kenapa Mama marahin aku, Kak? Huaaaa..” ujar Alisa sambil sesenggukan. Aku masih terdiam di pintu. Membiarkan Andi yang menenangkan.

“Cup cup cup. Mama lagi capek aja, dek. Nanti kalo udah ga capek, pasti adek diajak main lagi ya.” Andi menenangkan adik satu-satunya sambil mengelu-elus punggungnya. Aku masih terpaku melihatnya. Mata Andi masih tertuju padaku.

“Hik, hik, hik. Kenapa Mama marah terus kalo aku nanya. Padahal Papa dulu bilang ke adek. Adek disuruh banyak nanya Mama, biar adek pinter. Kata Papa, Mama suka anak yang pinter.”

Seketika aku menghambur ke arah mereka. Memeluk mereka erat dengan air mata mengalir deras. Aku merasa bodoh.

Aku merasa selama ini Tuhan tidak adil tidak membiarkan suamiku memberi pesan terakhirnya untukku. Tapi aku salah. Mereka inilah pesan terakhir suamiku. Pesan yang tak akan pernah berhenti memberiku ruang untuk bersyukur.

“Maafin, Mama ya, dek. Mama ga akan marah-marah lagi kalo adek nanya. Mama ga akan diemin adek lagi kalo sdek lagi cerita.”

“Hik hik hik. Benelan?”

“Bener.”

“Janji.”

“Iya, Mama janji.”

Tangisnya terhenti. Kukecup dahinya. Kulihat anak sulungku yang ikut berurai air mata.

“Mama udah ya sedihnya. Papa ga bakal suka kalo Mama nangis tiap malem. Papa juga ga bakal suka liat Mama yang ga pernah senyum lagi.”

“Iya, Kak. Maafin Mama.”

Isakku muncul lagi. Aku memeluk mereka lagi. Merasakan hangat tubuh para pemilik harapanku. Para jiwa yang akan aku pertanggung jawabkan hidupnya di akhirat nanti. Para insane pemilik pesan yang ditinggalkan suamiku untukku. Para penata hatiku.

“Ma, kakak punya sesuatu untuk Mama.” Ujar Andi sambil melepaskan pelukanku dan mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah buku kecil dan sebuah kunci.

“Ini buat Mama. Kakak selama ini ga ikut ekskul, Ma. Maaf kakak bohong. Kakak kerja jadi waiter di restorannya Pak Joko. Ini hasil tabungan Kakak setahun. Maaf cuma bisa beliin yang bekas. Yang penting Mama kalo ke kantor ga susah lagi. Bisa naik motor ini.”

Nafasku tercekat. Kupeluk lagi mereka. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Menyesali kebodohanku selama ini, kemudian mensyukuri harta yang kupunya. Harta yang akan menahan kepalaku untuk menunduk pada kesedihan. Harta yang akan kujaga sampai akhir hayatku, sama seperti suamiku menjagaku hingga akhir hayatnya.