Sunday, July 8, 2012

Koin Dwicitra

Diana mendekapku. Aku merasakan kehangatan yang seketika membuatku lupa akan risauku. Merayap dari dada bersama butir-butir ketenangan ke seluruh penjuru tubuh. Aku memeluknya balik. Detak jantung kami beriringan lalu serentak tenang, dengan napas yang setempo pula. Inilah yang kuinginkan.

“Kamu mau kan nikah sama aku?” Aku meraih telapak tangannya dan mengelusnya. Tangannya sehalus selimut yang dapat mengusir gelisahku waktu aku kecil. Aku mempersiapkan diri untuk hal terburuk. Ini usahaku yang terakhir. Inilah maksudku memohon padanya untuk bertemu hari ini juga.

“Aku tak pernah berniat membuatmu sampai berpikir terlalu jauh seperti itu,” kata Diana. “Sungguh. Aku minta maaf.”

Aku hilang kata. Perlu waktu untuk merekatkan serpihan-serpihan kata di otak verbalku. “Kamu susah sekali kuhubungi. Aku sampai berpikir kamu tak mau melihat wajahku lagi.”

“Mungkin memang begitu,” kata Diana. Aku benci kata mungkin. Tak bisakah ia memberiku sebuah kepastian?

“Cinta itu layang-layang,” kataku. “Cuma ikatan yang bisa mempertahankannya di tengah deru embusan masalah.” Pandangan kami tertambat seabad. Aku menunggu persetujuannya atas pernyataanku tadi.

“Tak semua yang kamu pikirkan itu sesuai kenyataan,” kata Diana. Mungkin memang kelebihan Hari setara dengan kelebihanku sehingga aku dan pecundang itu masuk indifference Diana, menjadikannya substitusiku, membuatku tak istimewa lagi di matanya.

“Kamu lebih ingin bersama Hari ketimbang denganku?” Bagus. Kini aku menuduhnya. Logikaku yang tadinya lurus terarah membelok menuju asimtot, ketakberujungan yang penuh dengan ketakutanku akan kehilangannya.

“Aku sering kali memikirkannya.” Diana mendengus tertawa kemudian termangu lagi. Aku biasanya terdiam dan memandanginya ketika ia tertawa. Kemudian ia sadar lalu terdiam dan mencengkeram wajahku agar aku berhenti memandanginya. Sayang saat ini tidak. Aku rindu tawanya yang dulu, rindu kebiasaan remeh-temehnya saat tertawa.

“Kamu ingat kali pertama kita bertemu?” Aku berusaha melenturkan pembicaraan yang mulai sekaku interaksi wartawan dan narasumber ini, juga membangkitkan kenangan kami, menumbuhkan lagi perasaannya. Kamis 8 Maret 2007 pukul 14.09, aku sedang berlari-lari kecil di bagian perlengkapan mandi Hero. Aku berkeringat, terburu-buru dari kantor. Atasanku, Bu Yvone, menuntutku segera membeli parfum sebelum rapat dengan para pemegang saham yang dimulai sebentar lagi. Hidungnya yang sepeka penciuman anjing menganggapku kambing. Di kedua tanganku terdapat dua macam. Lantas Diana lewat. Aku sontak bertanya kepadanya yang mana yang lebih ampuh menutupi bau. Lalu ia memerhatikanku seperti pemindai bandara. Ia bilang aku butuh dua-duanya dan terdiam ketus kemudian tertawa, sambil meminta maaf bahwa yang barusan itu bercanda. Ketika aku membalas bahwa seharusnya aku mengambil karbol pembersih toilet saja, ia terbahak-bahak. Aku mulai suka cara tawanya itu. Menikmatinya sejenak. Gelombang suara tawanya membentur ruang hatiku yang sedang kosong, bergema di sana, terpantul-pantul tak habis-habisnya, sampai menggetarkan dinding-dindingnya. Ketika tersadar, aku buru-buru ke kasir, tetapi kembali lagi untuk menanyakan namanya dan berjanji untuk bertemu lagi di tempat dan waktu yang kami tentukan juga saat itu. Di situlah ketertarikan kami dimulai. “Itu cukup memalukan kalau dipikir-pikir.”

“Aku benar-benar sudah melupakannya.” Lima kata darinya tersebut sudah cukup bagiku untuk berasumsi bahwa inilah akhirnya. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Namun, aku butuh kejelasan. Aku butuh palang yang padat untuk bergantungan, bukan palang anggapan.

“Apa kesalahanku dulu memang sudah tak bisa dimaafkan lagi?” Memang aku mengingkari janjiku padanya, tetapi ia tak boleh bertingkah seakan aku selalu mengecewakannya, tak pernah membuatnya bahagia. Satu kesalahan dibiarkan begitu saja membakar semua perbuatan manisku. Aku berhak dianggap sebagai lelaki yang bisa menyenangkan hatinya di banyak kesempatan.

Diana tersenyum. Seperti sebuah pelangi terbalik. Aku takjub. Karya paling sempurna dari sang Pencipta. Tak ingin pelangi itu memudar. Namun, aku kembali bertanya-tanya. Ia tersenyum karena semua hal manis yang kulakukan atau karena ia yakin semuanya akan berakhir dengan cara baik-baik?

“Tersenyumlah sekali lagi. Aku ingin lihat.” Bukan, bukan hanya sekali. Aku ingin melihat senyuman itu sampai tak ada bintang yang bersinar di luar angkasa. Setiap pagi sebelum mentari menyundut. Setiap malam sebelum lelap menjebak.

“Itu tak berasal dari hatiku.” Wajahnya seperti permukaan air tenang, begitu datar, tak ada riak, tetapi dapat membuatku tenggelam dan kehabisan napas.

“Kau sulit sekali kuhubungi. Lama sekali kita tak bertemu.” Aku memang punya cinta tetap padanya, yang ukurannya takkan dapat diubah dengan kondisi apapun. Aku juga punya cinta variabel, yang sangat bergantung kepada sambutan hangatnya. Namun bila cinta variabel itu sudah nol, antibodiku pun bisa perlahan memunahkan cinta tetapku. Aku tak ingin sakit merugi, mencinta sendiri.

Diana menyejajarkan pupil matanya dengan pupilku. Matanya memancarkan jawaban berbentuk sandi-sandi cahaya yang tak kumengerti. Aku pun tak bisa mengartikan kurva-kurva yang membentuk ekspresi wajahnya.

“Aku menyesal pernah membuatmu kecewa sampai kamu seperti tak ingin melihatku lagi,” kataku. “Aku minta maaf lagi kalau kau masih kecewa padaku.” Permintaanku padanya hanya kepercayaan, tetapi ia habis persediaan. Maka takkan ada ekuilibrium yang akan mempertemukan harapan kami. Aku sadar harga diriku akan terus merosot seiring meningkatnya kuantitasku mengemis kepercayaan padanya, tetapi aku sudah hilang kendali atas logikaku sendiri.

Diana menarik napas, mengisi dadanya dengan kekuatan di angkasa dan mengembuskan kesesakannya. “Yang kutahu aku tak bisa membuangnya.”

“Ke mana cinta yang dulu kauumbar padaku?” Aku menebak-nebak dari hal kecil. Dari getaran pundaknya. Dari gerak bibirnya. Dari bola matanya yang gelisah. Sungguh aku lelah menerka.

Diana melemparkan pandangannya ke luar jendela. Ia lebih memilih memerhatikan kendaraan yang lalu lalang menebarkan polusi daripada mataku. Bibirnya terjahit benang-benang penjelasan yang kusut belum terurai.

“Aku siap ditebas dengan kata-katamu. Itu lebih baik daripada melihatmu bisu.” Keterdiamannya kahar,force majeur. Aku memang tak mungkin mencegahnya.

“Aku juga tak mengerti dengan perasaanku sendiri.” Ia terdiam. Cukup lama untuk membuatku yang hanya terpusat pada suaranya merasa tuli karena tak mendengar satu suara pun.

“Apa dari awal kamu memang hanya main-main?” Di kedai kopi pinggir jalan ini aku kembali mulai dari nol, kembali ke tempat yang sama ketika kami janji bertemu setelah perjumpaan pertama. Menarik garis kronologis mencari kemungkinan dari hal yang kuyakini sebagai ketidakmungkinan.

Aku masih ingat ketika Diana berjalan memunggungiku. Aku menghitung sampai seratus, tetapi ia tak kunjung menoleh. Saat ia di dalam taksi pun aku masih memandangi tengkuknya. Muncul rasa benciku pada bentuk bumi berupa bola. Di jalan yang begitu lurus ia mulai tenggelam di balik garis cakrawala. Diana tak pernah kembali, bahkan sekadar menghubungi.

Aku ingat betul penyebab semua ini. Urutan ceritanya terpahat di candi otakku menjadi penyesalan abadi. Empat bulan lalu aku mengundang Diana beserta orang tuanya makan malam. Orang tuaku pun sudah datang dari Bandung. Selain merayakan keberhasilanku dipromosikan menjadi manajer finansial, aku ingin melamarnya langsung ke orang tuanya. Namun sebelum aku berangkat, direktur memintaku mendampinginya menghadiri rapat mendadak dengan perusahaan yang menjadi mitra dalam proyek produk baru saat itu. Rapat itu sangat mendesak. Bahkan itu Sabtu sore. Direktur mengancam takkan segan memecatku bila aku menolak meskipun aku baru naik jabatan. Karier dan cinta saling menarik nyawaku, meletakkanku di ambang antara hidup tanpa jiwa atau hidup tanpa raga. Aku menjelaskan semuanya. Orang tuaku dan orang tua Diana memaklumi, kecuali Diana sendiri. Hubungan kami mulai retak. Ia tak pernah tahu aku hendak melamarnya. Datang pula Hari, lelaki tak tahu malu yang berusaha menyusuri labirin menuju hati Diana. Mereka mulai dekat sejak itu.

Aku menyerah. Semua sudah kulakukan untuk membuat Diana kembali padaku. Bila terus seperti ini, pengorbananku berupa perasaan, pikiran, waktu, tenaga, dan uang, investasiku, akan tergerus bunga ekspektasinya yang selangit. Nilai pengorbananku di masa depan pun bisa saja sudah dianggap tak berharga hari ini. Aku pikir-pikir lagi ucapan Robi.

“Mungkin ini konyol, tapi aku percaya. Kau mau semua ini berakhir seperti yang kau inginkan?” Robi menepuk pundakku. “Lihatlah koin dwicitraku. Memang idenya tak orisinal, tetapi ampuh untuk kujadikan pengingat. Coba perhatikan. Kalau kau melihat sisi koin begini, ukirannya seperti nenek yang merengut. Aku merasakan penyesalan dirinya yang tak pernah mengutarakan cinta pada lelaki idaman sampai lelaki itu meninggal. Tapi kalau kau memutar koin ini, ukiran tadi seperti putri yang tersenyum. Bibirmu takkan datar saja saat kau melihat putri ini. Putri yang berhasil mengutarakan cintanya sampai bisa mendapatkan lelaki impiannya mana mungkin bersedih. Putri ini saja bisa mengubah ceritanya. Kau mau juga? Maka ubahlah sudut pandangmu dalam memandangi masalah ini seperti kau memandangi koin ini. Memang tak mudah. Kau bisa mulai dengan mengubah kebiasaanmu. Bahkan hal-hal terlumrah. Mundurlah saat berjalan. Berdirilah saat tidur. Jongkoklah saat kencing. Kau yakin sanggup melakukan semua untuk membuat kisahmu berakhir bahagia? Ubahlah semua. Jungkir balikkan. Semua, Sandoro. Bahkan saat membaca yang biasanya dari paragraf teratas menuju paragraf terbawah, maka sekarang bacalah dari paragraf terbawah menuju paragraf teratas.” Ia memutar-mutarkan koinnya perlahan di garis penglihatanku, menampilkan sosok putri dan nenek bergantian terus-menerus. “Tentukanlah. Kau bisa memilih semua ini berakhir bahagia seperti yang kau inginkan atau berhenti sampai di sini saja.”

Platonis

Amour Platonique.
Aku tak pernah benar-benar percaya cinta platonis itu memang ada. Bahkan, ketika aku sendiri bimbang dan meragu apakah perasaan yang menelanjangiku tiap malam—setiap aku hendak berangkat tidur—ini bisa dikategorikan ke dalam jenis yang Plato sebutkan itu. Aku tetap tak percaya. Aku lebih memilih untuk bungkam dan menolak untuk patuh. Telah lama kuhapus definisi-definisi filsafat tai kucing yang mencoba mengatur apa yang harus dan tidak boleh dilakukan dari kamus hidupku. Mungkin, tepatnya, sejak aku bertemu dan mulai dekat dengan sosokmu.

Aku lupa mengapa aku pernah begitu menyukai senja yang kaotik, menganggap duduk berdua di ujung dermaga menyambut temaram jingga di ufuk barat sebagai hal paling romantis yang dapat kukenang hingga rambutku memutih dan syaraf-syaraf otak perlahan berhenti melakukan pekerjaannya. Aku lupa. Nyatanya, perkenalan dengan wanita sepertimu mengajarkan hal yang sama sekali lain: bahwa hidup dapat dimaknai dengan sebebas-bebasnya, tanpa harus percaya pada kutipan-kutipan dan kearifan bijak bestari yang bahkan telah diucapkan sebelum kakek dan nenek kita mengenal huruf dan kata.

Berkat kamu, aku mengenal cara hidup yang jauh lebih intim dari itu. Setelah ucapanmu, aku—daripada hanya sekedar menanti senja rubuh—lebih memilih untuk terjaga sepanjang malam denganmu, berdua saja, hingga dini hari tiba. Dengan kaleng-kaleng bir yang hampir kosong. Dengan abu rokok yang tak kalah banyak dibanding abu jenazah. Dalam kesadaran yang mulai lindap, kita sering bercakap-cakap. Atau hanya saling diam. Atau tertidur tanpa kita ingat siapa yang mendahului.

“Jika kita bisa menaiki perahu hingga ke tengah laut, kenapa kita hanya berdiam saja di dermaga?” ujarmu di satu kesempatan.

Aku tersenyum. Analogimu lucu.

“Ayolah. Kau takkan cukup puas jika hanya memperoleh satu kalau kau bisa mendapatkan dua, tiga, atau lebih. Ambil sedikit resiko. Horatius tak pernah takut kalah bertaruh dan mati muda. Ia justru menyebut mereka yang memiliki usia panjang adalah orang-orang sial.”

Aku pun tertawa terbahak begitu kencangnya demi mendengar ucapanmu tanpa tahu di kemudian hari pun aku menangis tak tertanggungkan karena hal yang sama. Rupanya, aku tak bisa memperkirakan akibat yang dihasilkan oleh keberanian yang bodoh, pertaruhan yang tolol.

***

Don't go far off, not even for a day, because --
because -- I don't know how to say it: a day is long
and I will be waiting for you, as in an empty station
when the trains are parked off somewhere else, asleep.

Suatu kali, entah kenapa sepotong sajak berbicara lebih banyak dari motivator di televisi. Aku merasa ditonjok begitu keras di bagian dagu. Rahangku sakit dan mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa berkata-kata saat membaca sajak milik Neruda. Mungkin ini yang dinamakan kekalahan.

Aku tahu tidak sepantasnya aku bahagia dan menanam asa. Seharusnya aku ingat Shakespeare pernah berkata bahwa harapan adalah akar dari semua sakit hati. Namun, sebenarnya aku tak sungguh-sungguh lupa. Aku hanya tak ingin mengingat satu fakta yang pahitnya melebihi bir dingin yang biasa kita sesap pada dini hari. Fakta bahwa kita hanyalah sebuah konsep semu. Konsep yang takkan bisa dibangun ketika kau dan dia masih menjalin cinta, bersama. Aku hanya mencoba lari dari kenyataan bahwa kita bukanlah siapa-siapa selepas subuh tiba. Bahwa pada saatnya, kau akan kembali pada pelukan lelaki yang selalu berjalan memunggungiku dengan membawa status sebagai kekasihmu.

Aku sadar bahwa aku hanya lelaki yang menanggung luka. Sendiri. Aku—meski tak bisa dibandingkan dengan Yesus yang rela disalib demi kemuliaan umatnya—tahu bahwa ketika kau tak mampu memanggul dunia yang hampir jatuh di atas kepalamu, akulah orang yang akan kautuju. Kenyataan ini membuatku belajar: selalu ada saat-saat di mana manusia dihadapkan untuk memilih antara idealisme yang mengganggu dengan realitas yang terkadang tak mau tahu. Dan mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mengakui bahwa cinta yang platonis itu sungguh nyata.

“Adakah penengah antara harapan yang tak kunjung redup dengan cinta yang terlalu?” tanyamu.

“Apa kau sungguh-sungguh pernah jatuh cinta?” aku tak yakin.

“Tentu pernah. Bahkan seringkali aku dihadapkan dengan banyak cinta dalam satu waktu. Pasti kau tahu itu,” jawabmu mantap.

Senyum genitmu pun hadir. Mata kecilmu memandangku lekat-lekat. Kau pasti tahu bibirku yang menghitam karena nikotin itu perlahan bergetar. Seolah tahu aku akan kembali bertanya dan mengajukan protes. Sebelum itu terjadi, kau menciumku dengan segera. Dalam gelap malam, di beranda rumahku waktu itu bibir kita saling bertemu.

“Tenanglah, sayangku,” katamu lembut.

“Tak ada kecemasan yang perlu dipelihara hingga menahun. Ia, meskipun berkali-kali kau coba bunuh, akan selalu tumbuh. Sejarah kecemasan telah ada setua umur peradaban manusia itu sendiri. Jika tidak, mana mungkin Adam rela menghabiskan sisa hidupnya di bumi untuk mencari tulang rusuknya yang terpisah?”

“Kau tak pernah menjadi aku,” aku mulai merajuk. Ada sedikit nada pesimis pada kalimat terakhirku.

“Apakah untuk tahu apa yang kau rasa, aku harus menyaru menjadi dirimu?”

Kudengar intonasi dalam bicaramu mulai berubah naik. Kemudian, seperti biasa, kau mulai mendongengkan kisah yang berkali-kali aku dengar darimu.

“Dyah Banuwati….” katamu memulai kisah basi yang membuatku muntab.

“Ia, putri Prabu Salya yang sangat terkenal karena kecantikannya itu, adalah garwa Prabu Duryudana. Siapapun tahu siapa Duryudana: raja Kuru yang mempunyai kuasa tiada batas. Pemimpin Hastinapura yang memiliki tahta atas gading, emas, berlian, juga hasil alam yang tak terhingga. Namun bukan berarti ia juga berkuasa atas hati manusia. Mungkin ia mampu memiliki tubuh molek Banuwati, tetapi tidak dengan hatinya.”

Sebelum skenario usang kembali terulang, aku potong pembicaraanmu.

“Cukup. Aku sudah khatam dengan cerita itu. Aku tahu terusannya. Bahwa hanya Arjuna yang mampu mencuri jiwa kesepian Banuwati. Bahwa dalam malam-malam sunyi selepas perang yang melelahkan, Banuwati menyusup ke tenda milik Pandawa hanya untuk bercinta dengan Arjuna.

Aku paham, sayangku. Justru kamu yang tak paham bahwa pewayangan hanyalah cerita fiksi. Hentikanlah lelucon yang tak lucu ini. Sudah untung aku tak kerasukan Qabil yang tega membunuh Habil untuk memperoleh Iqlima,” cecarku mengutip kisah putra-putri adam.

Hawa semakin dingin. Toa-Toa masjid saling bersahutan mengumandangkan Adzan Subuh. Sementara, kita tak pernah tau apa yang akan kita lakukan usai perbincangan ini.

“Dari puluhan sajak yang kubaca, tak pernah ada yang sanggup membayar sebuah kehilangan dengan harga yang pantas,” tuturku lirih, mencoba menurunkan tensi.

“Hmm….”

“Kau tentu tahu aku selalu bersedia mengalah. Selalu mengambil jarak dengan perasaan. Aku tak mau kecewa saat pagi yang basah oleh embun kau kembali pulang. Namun tetap saja ada yang lesap ketika aku bangun dan menemukan kau tak ada lagi di sisiku.”

Kita kembali diam. Membiarkan Adzan Subuh menelan keheningan yang menggigil. Mencoba untuk melepas ragu yang masih tersisa di sela-sela kerumitan ini.

Lalu terdengar ponselmu mengalunkan kidung Megatruh, tembang kehilangan yang acap didendangkan oleh mereka yang merindu. Seketika wajahmu berangsur-angsur ceria, meski kausembunyikan, demi melihat nama yang tertera di layar ponselmu.

“Dari mama,” katamu mencoba berkilah. Namun percuma. Aku telah sempat melihat siapa yang menghubungimu. Aku marah. Aku cemburu. Tapi aku hanya diam, menanti apa yang akan kaukatakan selanjutnya.

“Aku sudah harus disuruh pulang. Ada misa pukul enam pagi nanti. Dan aku tak mau bolos lagi.”

“Boleh aku bilang satu kalimat penutup?” tanyaku ragu.

“Apa?”

“Sepertinya aku mencintaimu.”

Kau tersenyum.

“Sayangnya aku punya tempat tuk kembali,” pungkasmu.


because in that moment you'll have gone so far
I'll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying?
(Pablo Neruda – Don’t Go Far Off)