Hari ini Tom bangun lebih awal dari biasanya. Pukul enam lebih lima
pagi dia sudah beranjak dari tempat tidurnya, dan dengan perlahan dia
berjalan menuju ke balkon yang terletak di samping kamarnya.
Dia meregangkan kedua tangannya sambil menarik nafas dalam-dalam.
Senyum di bibirnya merekah seiring dengan mentari yang muncul dari ujung
cakrawala. Cahaya matahari pagi ini merembes melalui celah-celah embun
yang belum sepenuhnya naik, membuat semacam pilar-pilar cahaya yang
menyinari beberapa bagian balkon.
Setelah puas menikmati pagi, Tom masuk kembali ke dalam rumah. Dia
kemudian berjalan menuju ke dapur untuk membuat sarapan pagi. Ham & Egg bersama secangkir Robusta Coffee, tak ada yang lebih nikmat dari itu untuk dinikmati di pagi seperti ini.
Pukul tujuh lebih dua puluh dia telah selesai berpakaian. Hari ini
Tom mengenakan pakaian terbaik yang dia miliki, satu setel jas berwarna
hitam yang dipadukan dengan gesper dan dasi kupu-kupu merah yang
dibelikan oleh Emma beberapa tahun yang lalu.
Sambil membetulkan posisi dasinya dengan tangan kanan, tangan kirinya
menyemprotkan parfum ke beberapa titik di badannya. Setelah itu kedua
tangannya mengusapkan minyak ke atas rambutnya yang sudah memutih, Tom
menyisir rambutnya ke belakang agar terlihat lebih rapih. Terakhir dia
mengambil tongkat jalannya yang menggantung di sudut kamar.
Tom segera mengambil tisu saat melihat ada noda tanah di ujung
tongkatnya, dengan sekali usap dia mengenyahkan noda itu. Setelah
memastikan bahwa penampilannya sempurna, Tom keluar dari dalam rumah.
Rumah Tom terletak di kaki bukit, dibatasi oleh hutan pinus di bagian
selatan dan barat, serta sebuah danau kecil di sebelah utaranya. Untuk
sampai ke pusat kota dia harus berjalan kaki sekitar dua puluh menit,
atau jika sedang malas, dia bisa duduk manis di halte dan naik bus yang
datang kesana setiap satu jam sekali.
Tom berhenti di depan rumah tetangganya sebentar karena seekor anak
anjing tiba-tiba berlari keluar pada saat melihatnya. Tom kemudian
membungkuk dan mengelus-elus kepala anak anjing itu, ekornya berayun
dengan cepat.
“Pagi Tom.” Tetangganya membuka pintu depan.
“Pagi Will, anjingmu makin besar saja.”
“Yea, dia rakus sih.”
“Seperti pemiliknya eh?” Tom terkekeh.
William ikut tertawa.
“Kau mau mengunjungi Emma?”
Tom mengangguk. Tatapan mata William berubah jadi sedikit sendu.
“Aku titip salam untuknya Tom, oke?”
Tom mengangguk, dia menyuruh anak anjing itu pergi. Anjing itu
kemudian menggonggong sekali, dan berlari kembali ke arah William.
Tom berjalan dengan di sisi kanan trotoar, mengikuti alur batu yang
disusun dengan rapi dan indah di sepanjang jalanan menuju ke arah kota.
Selama perjalanan dia beberapa kali melambaikan tangannya untuk menyapa
penduduk kota yang baru saja pulang dari pasar. Mereka semua balik
melambaikan tangan sambil mengucapkan selamat pagi.
Tom melangkahkan kakinya untuk belok kanan di perempatan, dia
kemudian masuk ke dalam sebuah toko bunga kecil yang berada tepat di
samping perempatan.
“Pagi Candice.” Dia menyapa seorang perempuan muda berambut cokelat
yang sedang merapikan pot-pot yang berisi bunga warna-warni di atas rak.
“Aah, selamat pagi Tom! Tampan sekali kau hari ini.” Candice
meletakan pot bunga yang sedang dia pegang di atas meja, dia kemudian
menyalami Tom dan memeluknya.
“Hari ini istimewa love, Pesananku sudah tiba?” Tom bertanya sambil melihat-lihat isi toko.
“Tentu saja sudah. Sebentar, biar kuambilkan.” Candice berseri-seri,
dia kemudian masuk ke ruang belakang. Beberapa detik kemudian dia
kembali sambil membawa sebuah bouquet mawar yang sudah ditata dan dibungkus dengan sangat cantik.
“Lima puluh tangkai sesuai pesananmu, semuanya masih segar, aku
sendiri yang memetiknya dari kebun. Emma pasti suka.” Candice
menyerahkan bouquet itu dengan bangga.
“Ini.. sangat indah, terima kasih.” Tom mengambilnya dengan dua tangan, kedua matanya takjub melihat bunga-bunga tersebut.
“Hati-hati Tom, itu berat. Apa kau butuh bantuan untuk membawanya?”
“Biar kubawa sendiri.” Tom menggeleng.
“Sampaikan salamku untuk Emma ya, dia benar-benar wanita beruntung.”
“Pasti akan kusampaikan. Candice, aku titip tongkat jalanku disini ya?”
“Bagaimana dengan kakimu Tom?” Candice tampak khawatir.
“Tenang saja, lututku sudah lebih baik sekarang.” Tom tersenyum, dia
kemudian keluar dari toko dan kembali berjalan. Langkahnya semakin pelan
karena tanpa bantuan tongkat dan harus membawa bouquet mawar.
Sepuluh menit berlalu, sebentar lagi Tom akan tiba di tempat
pertemuannya dengan Emma. Sesaat sebelum dia masuk ke tempat itu,
seorang pria botak berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya, dia
mengenakan sebuah setelan kemeja dan sebuah celemek putih. Tangan
kanannya menggenggam sebuah bungkusan karton.
“Tom! Tom!” pria itu berteriak memanggil, membuat Tom berhenti berjalan.
“Kau rupanya, ada apa Fred?”
Fred kemudian menyerahkan bungkusan yang dibawanya kepada Tom.
“Apa ini?” Tom menerima bungkusan itu, dia kemudian mengintip ke dalam bungkusan.
“Wine.. untukmu dan Emma.”
“Ah, Dom Perignon, ini pasti mahal.”
“Bukankah hari ini spesial? Lagipula kalian layak mendapatkannya,
sampaikan salamku untuknya ya. Bunganya cantik sekali.” Fred menjawab
sambil berlari kembali ke arah tokonya di seberang jalan.
“Terima kasih!” Tom melambaikan tangannya, Fred membalasnya dengan acungan jempol.
Tom masuk ke sebuah area luas yang dipenuhi rumput pendek berwarna
hijau. Dia melihat ke kanan dan kiri, mencari-cari. Terakhir kali mereka
bertemu disini adalah setahun yang lalu. Tom berjalan beberapa meter,
tiba-tiba dia melihat Emma tersenyum ke arahnya dari kejauhan. Tom balas
tersenyum, kemudian bergegas menghampiri Emma.
Tom duduk di atas rumput.
“Hai Em, maaf aku terlambat. Sesuai janjiku dulu, ini aku bawakan
bunga mawar kesukaanmu, lima puluh batang. Yah, walaupun tak sempat
kuhitung satu persatu.” Dia meletakan bouquet mawar itu di hadapan Emma.
“Katanya Candice yang memetikan sendiri bunga itu, Kau masih ingat?
ibunya yang dulu menyediakan bunga saat pernikahan Daisy, dia wanita
yang baik. Sayang sekali sampai sekarang dia belum menikah ya? Ah, dia
titip salam untukmu Em, William tetangga kita dan Fred pemilik bar dari
seberang jalan juga menitipkan salam, Fred bahkan memberikan sebotol wine ini untuk kita.. Sebentar ya, biar kubukakan.”
Terdengar suara plop! Ketika botol wine itu dibuka.
Tom menuangkan isinya pada gelas yang ternyata sudah disiapkan juga
oleh Fred di dalam bungkusan itu. Dia kemudian meletakannya di hadapan
Emma.
“Mereka semua rindu padamu Em, yah, aku juga begitu.” Tom tersipu malu.
“Omong-omong, kedua anak kita baik-baik saja Em, Kau tahu, Jeff dipromosikan menjadi Senior Manager minggu
lalu, dia sedang bersiap-siap dipindahkan ke kantor baru, jadi mereka
sekeluarga mungkin baru datang kesini nanti siang. Ah ya, si kecil
Tiffany tahun ini masuk sekolah, aku sudah menyarankan agar dia sekolah
disini saja, kau sendiri kan yang bilang kalau pendidikan di kota besar
sekarang tidak bisa dipercaya? Aku juga takut dia akan terpengaruh
banyak hal buruk dari lingkungannya, tapi Daisy tak mau dengar. Dia
bilang fasilitas disana lebih bagus. Dia memang keras kepala, sangat
mirip kamu Em.”
Tom berhenti berbicara untuk menuangkan wine bagi dirinya sendiri.
“Haruskah kita bersulang sekarang?” Tom bertanya, Emma tidak
menjawab, tapi kedua matanya yang teduh tak berhenti memandangi Tom,
begitupula senyumannya yang tak pernah berhenti terkembang.
“Astaga, senyummu memang sangat indah Em.. Oke, nanti saja kita
bersulangnya, aku juga masih ingin bersama denganmu beberapa saat lagi.”
Tom kembali bercerita. Dia bercerita tentang apa saja, merangkum semua kejadian yang dilewatkan oleh Emma setahun ini.
Dia bercerita tentang hal-hal besar dan penting yang terjadi di kota,
seperti terpilihnya walikota baru yang menurutnya masih terlalu muda
dan bau kencur. Tentang meluapnya danau di bukit beberapa bulan yang
lalu karena hujan besar dua hari berturut-turut. Dia juga menceritakan
hal-hal kecil seperti tentang ilalang yang sepertinya tumbuh dengan
terlalu cepat di halaman rumah mereka, tentang keinginannya memelihara
anjing seperti William, tentang koloni lebah yang dia temukan di loteng
rumah, dan hal-hal lainnya.
Lama kelamaan ceritanya berubah menjadi nostalgia. Dia kembali
menceritakan hal-hal yang menjadi momen kenangan bagi mereka berdua,
seperti saat keduanya berbulan madu di Galapagos, saat dirinya panik
ketika kaki Jeff kecil bengkak karena disengat lebah, Isak tangisnya di
malam Daisy menikah, dan hal-hal sentimentil lainnya.
“..Kami rindu padamu Em.. Jeff, Daisy, Timmy, dan si kecil Tiffany
yang masih sering menanyakan tentang tentangmu. Apa kau memang tak bisa
kembali pada kami semua Em?” mata Tom sedikit berkaca-kaca.
“Fred bilang perpisahan kita ini tak seharusnya terjadi. Kurasa dia
benar, sampai sekarang aku tak tahu siapa yang harus disalahkan atas ini
semua. Apa yang harus kulakukan Em? Apa yang bisa kulakukan untuk memperbaikinya?”
Tom hanya terdiam dan memandangi kedua bola mata Emma selama beberapa
menit selanjutnya, sampai akhirnya dia melihat jam perak yang terpasang
di lengan kirinya. Tak terasa sudah satu jam lebih dia duduk disana.
“Sudah siang rupanya. Aku rasa sebaiknya aku pulang Em, mungkin Jeff
dan Daisy menelponku dari tadi. Akan kubawa mereka bertemu denganmu
nanti sore.”
Emma tersenyum.
Tom meraih kedua gelas wine yang sama sekali belum tersentuh.
“Sekarang saatnya bersulang Em.”
Tom menyentuhkan ujung gelasnya hingga terdengar suara dentingan jernih, dia kemudian menenggak habis minuman di gelasnya.
Tom perlahan beranjak ke depan, dia kemudian mencium Emma..
…Foto Emma.
Tom menuangkan wine dari gelas kedua ke atas batu nisannya.
“Selamat ulang tahun pernikahan yang ke lima puluh sayang, aku cinta kamu, kami semua cinta kamu.”
1 comment:
Kekurangan:
Kalimat “setelah itu kedua tangannya mengusapkan minyak ke atas rambutnya yang sudah memutih” membuat pembaca dapat menebak akhirnya seperti apa.
Saran:
Kalau tujuan penulis memang ingin membuat akhir yang mengejutkan, sebaiknya petunjuk dijelaskan secara lebih tersirat. Namun, menurut saya, cerpen ini akan lebih baik bila yang dijadikan rahasia itu dibocorkan saja dari awal dan diperdalam bagian interaksi Tom dan Emma, mungkin dengan Tom bercerita tentang cucunya yang sudah kuliah dan hal-hal lain yang terjadi setelah Emma meninggal.
Kelebihan:
Saya suka ketika Tom berjalan dan saling menyapa tetangganya. Banyaknya interaksi sederhana antara tokoh dan orang-orang di sekitarnya membuat karakternya terasa jelas dan membuat pembaca kesal/ simpati pada tokoh tersebut.
Post a Comment