Tuesday, October 2, 2012

Hujan Kesekian

Sore ini hujan turun dengan tergesa. Langit tak mau berlama-lama memuramkan durja, sementara guntur tak sempat memberi aba-aba. Rintik demi rintik air rontok begitu saja.

September yang basah akhirnya tiba membawa pulang cendera mata yang selalu khas. “Petrichor”, begitu putriku sering menyebutnya. Tanah yang tadinya kering kerontang mendadak basah menggenang.

Sejak dulu setiap kali hujan tumpah, aku selalu seperti ini, duduk mengkhidmatinya dari balik jendela atau teras rumah. Sendirian, hanya ditemani segelas teh hangat hasil seduhanku sendiri. Sesekali ada sepiring bakwan atau pisang goreng melengkapi. Dan tentu, seporsi kenangan masa lalu yang siap ditelan mentah-mentah serta angan-angan masa depan yang telah diolah matang-matang tak pernah mangkir hadir.

Setidaknya, itulah yang terjadi sejak 20 tahun lalu setelah Mas Wira, suamiku, meninggal akibat kecelakaan yang dia alami dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat aku melahirkan putri pertama dan satu-satunya. Seorang putri yang selama ini diimpikan oleh Mas Wira. Maharani, nama yang kuberikan kepadanya persis seperti yang dulu Mas Wira inginkan.

“Mas, aku ingin anak pertama kita seorang laki-laki, agar bisa menjaga adik-adiknya dan kelak menjadi pemimpin yang baik seperti ayahnya.”, ujarku suatu waktu.

“Ahaha, tidak, Sayang. Anak pertama kita seorang perempuan. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam dan sedikit bergelombang, matanya lentik, serta pandai memasak. Persis seperti ibunya.”, sahut Mas Wira antusias. “Dan akan kuberi dia nama Maharani.”, imbuhnya sembari mengelus perutku yang membuncit kala itu.

Sayang sekali, belum sempat melihat bidadari impiannya itu lahir ke dunia, Mas Wira sudah lebih dulu dipanggil pulang ke sisi Tuhan. Sejak saat itu aku membesarkan Rani seorang diri, menjadi ibu sekaligus ayah baginya. Jika bukan karena Mas Wira, menjadi tegar mungkin tak kan semudah ini.

Waktu berlalu begitu cepat. Rani kecil beranjak menjadi seorang anak yang mulai tekun bertanya ini itu. Membuatku acap kali kewalahan untuk menjawab satu demi satu pertanyaan tak terduga yang keluar dari mulut polosnya.

“Bu, teman-teman Rani punya ayah tapi kok Rani gak punya?” Suatu ketika Rani kecil yang berusia 4 tahun menanyakan apa yang selama ini aku takutkan.

“Siapa bilang Rani gak punya ayah. Rani punya ayah kok. Tapi ayah Rani sedang kerja di tempat yang jauh banget, jadi jarang pulang.”, jawabku. Aku berpikir bahwa saat itu belum waktunya untuk putriku tau tentang suatu kenyataan keji bernama kematian.

“Rani kangen ayah, Bu.”, rengeknya.

“Iya, Sayang. Ayah pasti juga kangen sama Rani. Nanti ayah pasti segera pulang menemui Rani.”

Terus seperti itu. Aku berbohong, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya aku terpaksa menerima pinangan seorang duda kaya dari desa sebelah.

Ya, memang aku terpaksa. Pertama, aku tau pria duda itu seorang brengsek yang doyan main wanita. Status duda yang dia punya juga karena dicerai istrinya lantaran kepergok main serong dengan pembantunya yang masih gadis.

Kedua, layaknya seorang perempuan yang meyakini bahwa cinta sejati sehidup semati itu ada, aku telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak menikah lagi setelah kematian Mas Wira. Aku menghianati janjiku sendiri. Persis seperti John Rock, penemu pil KB, yang pada akhirnya memilih untuk memiliki 5 orang anak. Atau seperti Sigmund Freud, seorang psikoanalis yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri justru karena dirinya mengalami gangguan mental. Atau Kartini, yang konon getol memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita —menentang poligami, salah satunya— namun pada akhirnya bersedia menjadi istri keempat dari seorang Bupati Rembang.

Jangan tanya kenapa aku akhirnya bersedia menikah, untuk kedua kalinya, dengan duda itu. Selain karena ini semua kulakukan untuk menyelamatkan hati putriku yang masih rapuh, aku tak punya alasan lain. Bukan karena fisiknya yang gagah tinggi besar. Bukan juga karena materi yang berlimpah. Persetan dengan semua itu. Yang ada di pikiranku waktu itu hanya senyum anakku melihat keluarganya lengkap.

Kami memang benar-benar menikah. Bahkan resepsi pernikahannya pun digelar besar-besaran dan cukup mewah, sesuai keinginan keluarga duda itu. Ratusan orang datang menghadiri acara seremonial itu, membuatku harus bersusah payah mereka-reka senyum semanis ingin mereka. Tapi kami tidak benar-benar menjadi sepasang suami istri, cukup sebatas status. Duda itu tak pernah kubiarkan menyentuh tubuhku barang satu senti pun hingga sekarang.

Belasan tahun aku menjalani hidup penuh kepalsuan seperti itu. Sampai sekarang, Rani yang telah beranjak menjadi gadis belia pun tak sempat tau bahwa duda itu bukan ayah kandungnya. Dia tak tau bahwa aku melahirkannya dari benih seorang pria luar biasa dengan doa yang setiap saat dirajutnya. Bukan dari duda brengsek itu.

Hujan mulai reda, menyisakan gerimis tipis yang menyisir langit Jogja sore ini. Sayup-sayup terdengar suara sirine mobil polisi mendekat menuju rumahku. Seketika lamunan panjangku terbuyarkan. Kusapukan pandanganku ke sekeliling. Rumahku sudah dikerumuni banyak orang dengan tatapan dan bisikan yang menghakimi.

Dari dalam rumah, terdengar suara Rani yang terisak sedari tadi. Menangis tepat di samping mayat duda yang dia anggap sebagai ayahnya itu. Yang sesaat lalu kupukul keras-keras kepalanya di bagian belakang karena mencoba memperkosa Rani, putri semata wayangku, bidadari impian Mas Wira.

Entah, Rani menangis untuk siapa dan karena apa. Untuk kelakuan biadab ayahnya yang tega mencoba merenggut harga dirinya, untuk kemarahankuu yang membuatku tega menghabisi nyawa suamiku sendiri, atau menangis untukku yang sebentar lagi akan digelandang ke kantor polisi. Ah, aku tak pandai menerka dan berandai. Yang kutau pasti, aku menangis karena aku telah membuat putri semata wayangku menangis sekeras ini.

Maafkan Ibu, Nak! Barangkali di hadapanmu cinta Ibu terlihat buruk rupa. Ibumu ini memang tak pandai merias cinta.

Hujan tinggal menyisakan rintik, hati tersengal merintih.

3 comments:

Unknown said...

Kekurangan:
Saat saya membaca cerpen tema keluarga, yang saya harapkan, dan tentu ini subjektif sekali, adalah penulis mengisahkan anggota keluarga yang berusaha mengesampingkan egoismenya hanya untuk mempertahankan keluarga. Cerpen ini satu-satunya yang memunculkan tokoh ayah tiri. Apabila ayah tiri ini diceritakan mampu berhasil menjadi ayah yang baik bagi Rani yang mengharapkan sosok ayah, meskipun sang istri tidak mencintainya di awal sampai membuat sang istri luluh, saya rasa akan jadi lebih baik dan menyentuh,

Kelebihan:
Perbandingan si tokoh dengan John Rock, Sigmund Freud, dan Kartini menunjukkan penulis memiliki wawasan yang luas. Meskipun seorang penulis punya wawasan luas, hal itu tak mudah dilakukan karena mengumpulkan wawasan yang berceceran di otak ke dalam satu pola yang sesuai dengan kebutuhan cerita, tidak hanya tempelan hanya untuk menunjukkan luasnya wawasan penulis, butuh kemampuan dan pengalaman.

Andreas Rossi said...
This comment has been removed by the author.
Andreas Rossi said...

Satu-satunya yang problematis dari cerita ini adalah ini: "jangan tanya kenapa aku akhirnya bersedia menikah, untuk kedua kalinya, dengan duda itu. Selain karena ini semua kulakukan untuk menyelamatkan hati putriku yang masih rapuh, aku tak punya alasan lain." Mengapa tidak punya alasan lain? Bagaimana seorang ayah yang brengsek sanggup "menyelamatkan hati putriku yang rapuh"? Mengapa tidak bercerai saja? Ada baiknya jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus diceritakan (bukan, jawaban "Ah, aku tak pandai menerka dan berandai" tidaklah cukup untuk menjawab). Kecuali si ibu, entah bagaimana, adalah seorang yang masokis, matre, atau terkena Stockholm syndrome. Akhir cerita yang dipakai untuk melenyapkan (atau melepaskan ikatan) dengan suami keduanya menurut saya agak terkesan seperti deus ex machina. Namun, saya suka alurnya.

Kutipan favorit:
"September yang basah akhirnya tiba membawa pulang cendera mata yang selalu khas. 'Petrichor', begitu putriku sering menyebutnya." Simpel tapi terdengar elegan.