Tuesday, October 2, 2012

Ketabahan Bapak

“Kak, cepat pulang! Bapak sedang opname di rumah sakit.”

Setelah menerima pesan singkat dari adik perempuanku, aku segera bergegas meninggalkan kehidupan rumit di jalanan ibukota. Aku tahu jika adikku sudah berkata demikian, berarti sedang terjadi hal luar biasa. Usia bapak telah lanjut. Berkali-kali pula beliau masuk rumah sakit. Tetapi baru kali ini adik memintaku untuk pulang segera. Untuk itu, aku tak menunggu waktu lebih lama untuk menyelesaikan pekerjaan. Siang itu juga aku langsung berangkat ke terminal Pulogadung.

Dengan tiket sisa yang kudapat susah-payah dari calo, aku berhasil menaiki bus malam terakhir yang membawaku ke desa kelahiranku di ujung selatan pulau Jawa. Anak dan istri kutinggal di rumah. Mereka kutitipi pesan untuk berdoa banyak-banyak agar seluruh keluarga kami selalu diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak berkata apapun soal bapak. Aku hanya sempat mengirim pesan singkat pada anakku yang sedang kuliah agar jaga rumah dan ibunya baik-baik.

Pukul 01.00 dini hari aku baru benar-benar sampai di rumah sakit tempat bapakku dirawat. Ketika aku tiba, hanya Nia, adikku yang tadi sore mengirimiku pesan singkat, yang masih terjaga. Ibuku, kakakku, serta dua orang adikku yang lain tengah berdesak-desakkan di lantai kamar rumah sakit yang hanya beralaskan tikar. Bapak pun terpejam. Meskipun aku tak tahu apakah orang sakit yang tinggal menghitung waktu untuk meninggal masih punya waktu untuk tidur. Melihatku datang, adikku langsung menggandeng tanganku keluar kamar agar kami lebih leluasa berbicara.

“Sudah berapa lama bapak rawat inap di rumah sakit?” tanyaku membuka perbincangan.

“Kondisi bapak beberapa minggu terakhir sudah payah. Ibu yang tidak tega akhirnya membawa bapak ke rumah sakit empat hari yang lalu. Bukannya membaik, kemarin malah bapak sempat kejang dan collapse sebelum akhirnya tenang kembali.”

“Lalu apa kata dokter?”

“Dokter yang menangani bapak sudah pasrah. Dia bilang penyakit komplikasi yang dialami bapak semakin parah menggerogoti tubuhnya. Sekarang kita hanya bisa berdoa semaksimal mungkin agar Allah memberikan hasil yang terbaik untuk bapak.”

“Baiklah. Sekarang kamu tidur saja. Kamu butuh istirahat. Biar aku saja yang berjaga di sini.”

Tanpa adikku menjelaskan dengan lebih rinci, aku tahu bahwa ibu telah menjaga bapak tanpa tidur selama beberapa malam sebelum akhirnya adikku ini memaksanya untuk beristirahat. Banyak saudara yang mau dengan ikhlas menjaga bapak sebenarnya. Tetapi ibu yang mudah cemas seringkali tak mau digantikan oleh siapapun. Beliau ingin selama mungkin menjaga dan merawat bapak karena selama ini Beliau telah kehilangan banyak waktu bersama bapak.
*
Aku duduk di kursi panjang di depan. Perlahan ingatanku melayang pada waktu lampau. Perlahan sekali. Kembali kuingat mengapa ibu menjadi seperti itu. Ingatan yang kemudian menjelma serupa nyata. Waktu aku kecil dulu. Hampir tiap hari kulihat ibu menangis. Menangis. Menangis. Dan menangis. Menangis karena ditinggal bapak 8 tahun lamanya. Menangis karena merasa dikhianati oleh aparat yang bertindak sewenang-wenang dengan tameng kekuasaan. Menangis karena ternyata banyak yang mengaku saudara sebangsa, tetapi saling hajar tanpa belas kasihan.

Waktu itu aku sedang bermain ke tegalan di desa sebelah ketika tiba-tiba adikku berlari ke arahku dan berteriak.

“Kak, cepat pulang! Bapak dikeroyok oleh orang-orang asing.”

Aku tak tahu bagaimana yang terjadi selanjutnya. Ketika tiba di rumah, yang kutemui hanya ibu sedang menangis dengan keras. Kata kakak, bapak diserbu oleh segerombolan orang berseragam hijau-hitam. Mereka mendobrak rumah dengan paksa dan memukul bapak dengan popor senapan. Lalu mereka menyeret bapak seperti binatang. Jika dengan terpaksa sekali harus kubilang apa yang dapat kusyukuri dari musibah tersebut adalah kepulangan bapak. Meskipun itu memakan waktu bertahun-tahun kemudian.
*
Fajar menyingsing. Ibu, kakak, dan yang lain mulai bangun satu persatu. Aku langsung menyalami ibu.

“Datang jam berapa kamu?” tanya ibu.

“Semalam bu. Begitu Nia sms aku langsung bergegas ke sini. Ibu sarapan dulu ya. Tadi aku beli bubur ayam di depan rumah sakit.”

Ibu hanya tersenyum. Beliau tak menangis lagi. Tetapi mata beliau sembab. Aku merasakan kesedihan mendalam yang tak bisa disembunyikan. Jika bapak bangun saat ini, beliau masti memarahi ibu. Bapak memang sangat berbeda dengan ibu. Hampir tak pernah kulihat bapak menangis. Bahkan dalam kondisi seburuk apapun.

Aku lantas ingat saat kakek meninggal karena sakit jantung. Bapak tidak menangis, melainkan hanya diam dan berdoa. Begitu pula saat nenek meninggal dua tahun kemudian. Sepertinya kehidupan keras sejak kecil telah menempa bapak menjadi pribadi yang tahan banting. Beliau adalah samudera ketabahan. Dari beliau aku belajar bahwa musibah dapat datang kapan saja dan kita tak punya pilihan selain menghadapinya.

“Persiapkanlah diri sejak awal agar kita tidak perlu sedih berlebihan,” ucap beliau suatu saat.

Kali lain, saat bapak akhirnya bebas dari tahanan, beliau langsung pulang dan menemui kami. Tak ada tanda-tanda kesedihan di raut muka beliau. Beliau tampak tabah meskipun semua tahu itu hanya pura-pura. Waktu itu, justru ibu yang kembali menangis dengan keras karena melihat lebam di seluruh tubuh bapak. Melihat ibu menangis, bapak tersenyum. Lalu, beliau menggandeng tangan ibu dan mengajak kami makan bersama.
*
Paginya, Lek Warno datang bersama kyai Sobirin. Ketika kutemui, Lek Warno berkata bahwa ia mengundang kyai Sobirin agar beliau mau membantu mendoakan bapak. Di dalam kamar, ibu dan kakak menyambut mereka. Merasa lebih tenang, aku pamit untuk mandi membersihkan badan yang kotor karena perjalanan panjang kemarin sore.

Seusai mandi, aku merasakan ketegangan menyelimuti kamar. Kakakku tampak di depan sedang menelepon para kerabat, meminta doa agar bapak diberi kemudahan. Di dalam, kulihat ibu, Lek Warno dan Nia sedang membacakan surat Yassin dipandu oleh kyai Sobirin. Aku memilih diam mendengarkan dan berjaga untuk segala situasi. Meskipun aku mencoba bersiap dengan kemungkinan, tapi diam-diam aku berdoa agar bapak diberi kesembuhan. Aku masih belum bisa setabah beliau, mengakrabi kesedihan juga kehilangan. Aku masih memerlukan bapak sebagai guru dan untuk itulah aku berharap. Lagipula, siapa yang berhak menentukan usia manusia?

Sayang, harapanku tidak bertahan lama. Sekitar satu jam setelah itu bapak mulai kehabisan tenaganya. Beliau mulai kepayahan. Setelah tenang yang tak berkesudahan, nafas bapak mulai tak beraturan. Aku yang beberapa kali mengikuti proses sakaratul maut paham bahwa waktu bapak tidak lama lagi. Aku merapat ke kaki bapak dan memegangnya. Konon malaikat pencabut nyawa melakukan eksekusi mulai dari kaki. Ternyata kaki beliau dingin. Mungkin saat ini Izrail sedang menunaikan tugasnya.

“Ngiik… Ngiiikkkk… Ngiiiiikkkk..”

Kulihat napas bapak memburu. Seisi kamar panik. Kyai Sobirin tidak berhenti membaca Yassin. Sedangkan Lek Warno terlihat mencoba menenangkan ibu yang mulai mengeluarkan tangisnya kembali.

“Pak… Pak.. Sadar pak..” jerit ibu. Tangis beliau pecah lebih keras dari sebelumnya.

"Sudahlah. biarkan dia pergi. Kasihan. Kasihan dia," kata Lek Warno sambil memegangi ibu yang mulai berontak.

Pikiranku ke mana-mana. Aku hampir tak tahan melihat pemandangan ini. Aku semakin mendekat ke bapak. Kugenggam tangannya. Kugumamkan doa-doa makin cepat dan kubisikan kalimat-kalimat Allah di telinga bapak.

Cepat… Cepat… Dan makin cepa...

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un…

Lima menit kemudian, aku merasakan tenang yang luar biasa. Bapak meninggal. Tangis ibu pun reda. Tinggal samar-samar suara isak di mana-mana. Isak ibu. Isak kakak. Isak adik-adik. Juga isakku yang masih juga kutahan. Aku ingin seperti bapak. Aku ingin tabah seperti bapak. Aku tak boleh menangis meskipun saat itu pertahananku sudah hampir jebol.

Sesaat kemudian, kututup mata bapak. Kuselimuti tubuh orang yang mendidikku dengan sekuat tenaganya, orang yang dulu pernah mengajariku banyak hal dengan diamnya.

Ketika aku hendak menelepon istriku mengabari hal ini, tiba-tiba telepon genggamku berdering terlebih dahulu. Kuangkat dan…

“PAK, CEPAT PULANG! ANAK KITA DITEMBAK APARAT..”

Piass!

1 comment:

Unknown said...

Kekurangan:
Saya kehilangan sosok Gita di tulisan ini. Saya tidak menemukan kalimat-kalimat majemuk indah yang biasanya saya dapat dari tulisan seorang Gita. Cerpen ini lebih banyak berisi narasi tentang kejadian demi kejadian, kurang sekali kalimat-kalimat perenungan.

Saran:
Saya pikir hal itu saya rasakan karena penulis membuat cerita pada hari H juga. Lain kali menulis lah jauh-jauh hari. Dedikasi penulis pada tulisannya sendiri pasti dapat dirasakan pembaca.

Kelebihan:
Akhirnya baca tulisan Gita yang bebas dari unsur kutipan tokoh, puisi, lirik, atau analogi perwayangan. Ini yang saya tunggu karena hal-hal tersebut bisa menjadi ketergantungan yang akan mengakibatkan pembaca tetapnya bosan. Langkah yang hebat untuk keluar dari kebiasaan.

Latar belakang konflik yang digambarkan secara tersirat, yang ternyata berhubungan dengan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober sesuai hari ketika cerpen ini dipublikasi, kalau pemahaman saya benar, merupakan perbuatan yang bijak dan cerdas karena penulis tidak meremehkan kecerdasan pembaca dengan menerangkan secara eksplisit. Sayang saat anaknya ditembak aparat, yang menjadi akhir cerita, tidak ada alasan jelas sehingga kalau dihilangkan justru lebih baik.