Tuesday, October 2, 2012

Keping-Keping Cermin

Aku adalah orang yang kuperhatikan. Aku suka sekali ketika semua orang bergerak di depanku, mendadak termenung menatapku untuk melihat sisi terdalam dari diri mereka, lalu dengan bibir berat mereka bertanya padaku. Sekarang pun aku sedang begitu. Memerhatikan tanpa sepengetahuan mereka, menelisik apa yang mereka pikirkan, di balik cermin raksasa yang retak berbulan-bulan, seperti seseorang yang mencinta diam-diam.

Rama tak bosan mengingatkan bahwa garpu hanyalah alat bantu, dilarang dipakai untuk memasukkan makanan ke mulut kalau masih di tangan kiri, karena hanya setan yang makan dengan tangan itu. Mereka berdoa dengan mata terpejam, lalu saat membuka mata dan akan mulai makan, mereka melihat Haris si sulung berdoa dengan tangan terkatup. Lalu Haris menyentuh kening, dada, serta pundak kiri dan kanan. Bapa, Putranya—Yesus Kristus, dan Roh Kudus, katanya. Yang lain tercengang. Setelah itu Haris mengaku bahwa ia sudah dibaptis. Semuanya pun terjadi begitu cepat.

Ruangan penuh dengan ucapan istighfar dan Masya Allah yang menggaung dari bibir Rama. Aulia terdiam di kursinya. Rama mempertanyakan kenapa Haris bisa segila itu. Rama dan Haris bertengkar mulut, Aulia yang sudah lama tahu membela abangnya, sedangkan Suci bingung memilih pihak yang mana dan mulai bercucuran air mata. Sampai Rama menggebrak meja, menyuruh semua orang diam, dan dengan suara selantang azan subuh di tengah keheningan pagi mengatakan bahwa ia tak bisa menerima orang yang tak seiman berada di rumahnya. Bahkan Suci gagal membuat suaminya menarik kata-katanya kembali. Anak sulungnya pun, tanpa bisa dicegah, membawa pakaian dan meninggalkan rumah.

Rama terdiam berdiri memandangiku di situ, sampai yang lain lelah dan beranjak, meninggalkannya bersama makanan yang telah dingin. Ia mengaku padaku merasa tanpa berhenti mengajarkan agama sejak anak-anaknya kecil. Lantas ia berteriak padaku, bagian mana yang salah? Dadanya naik turun. Ketika aku tak bisa memberikan jawaban, ia melempariku dengan piring sampai cerminku ini retak.

Sekarang hanya terdengar suara dentang-denting sendok dan garpu melawan piring beling. Suci melirik-lirik tak nyaman ke Aulia yang sedari tadi cekikikan dengan ponselnya. Makanannya dingin diabaikan terlalu lama. Aku pindah ke bagian cembung sendok Aulia yang masih tertelungkup di piring, untuk melihat wajah Suci lebih dekat, dan kutangkap bibirnya terbuka sejenak lalu terkatup lagi.

“Apa kabar temanmu itu, siapa tuh, Wirya?”

Malah Rama yang memulai percakapan. Aku pindah ke cermin retak lagi agar dapat melihat mimik Rama dan Aulia lebih jelas.

“Pacar, Yah, bukan temen,” kata Aulia tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel. “Dia baik-baik aja kok. Dia ditempatin di KPP Pekalongan, pilihan keduanya. Besok dia yang jemput aku di Solo.”

“Kalau kamu lagi bareng temen spesialmu itu,” kata Rama, kukuh mengindari sebutan pacar. “tapi kamu sibuk ngobrol sama cowok lain di HP, dia cemburu nggak?”

“Papa nanya apaan sih,” kata Aulia sambil mengetik pesan. “Ya pastilah cemburu.”

“Kenapa?”

“Ya karena Wirya sayang banget sama Aulia.”

Aulia terus saja mengobrol dengan Wirya, terbahak sendirian, membuat yang lain ingin tahu apa yang ditertawakan, untuk ikut tertawa kalau bisa.

“Ini makan malam terakhir kita sebelum kamu berangkat,” kata Rama. “Tapi kamu malah bikin papa cemburu.”

Rama menelungkupkan sendok dan garpunya lalu bangkit sampai kursinya berderit. Aulia berhenti mengetik. Tawanya seketika meredup, bekas-bekas berupa senyum pun tak ada. Matanya menatap lurus, kosong, tersadar ia tak perlu bertanya kenapa, kemudian menoleh ke arah Rama yang sedang berjalan menjauh tanpa menoleh. Ia meletakkan ponselnya dan makan sampai habis tanpa kata. Pesan dari Wirya pun tak lagi dibaca.

Rama biasa langsung menyikat gigi setelah makan. Aku segera ke wastafel. Kemudian aku dan Rama saling bertatapan, sikat giginya mengacung di tangan. Lantas ia membungkuk, berkumur-kumur, dan meletakkan sikat giginya di gelas sampai berdenting. Dengan kedua tangan berpangku pada wastafel, ia menatapku. Dengan terus menuntut jawaban yang memuaskan, ia bertanya padaku, siapkah aku ditinggal anakku lagi yang lebih memilih keputusannya sendiri?

*
Suci mengetuk pintu, membuka dan mengintip dari celah, menanyakan apakah Aulia sedang sibuk atau tidak, dan meminta izin masuk. Aulia yang sedang mengetik untuk blognya berbalik dan mempersilakan Suci menghampirinya. Di tepi tempat tidur Suci duduk, meletakkan keranjang baju bersih di samping, memerhatikan kamar Aulia yang semakin lega serta barang-barangnya yang sudah dikemas, dan ia menghela napas, memastikan napasnya cukup untuk mengutarakan semuanya.

“Jadinya kamu beli tiket dari agen mana?” Suci berbasa-basi lebih dulu, mengetes apakah ia masih sanggup mengutarakan pikirannya atau tidak.

“Dari RC Tour Travel, Mah,” kata Aulia. “Lebih murah daripada harga tiket dari garudanya sendiri.”

“Oh gitu.” Suci terdiam sejenak, kemudian dengan cepat ia melepas napasnya bersama pikiran yang telah menggantung lama. “Mama masih belum terima kamu lebih milih penempatan yang deket sama Wirya daripada sama mama.”

Suci menarik napas lagi. “Dari awal juga mama nggak pernah ngasih restu ke kalian.”

“Aulia pacarannya juga serius kok, bukan cuma seneng-seneng, dan kalau mama masih khawatir akan terjadi apa-apa, Aulia tahu batas.”

“Mama papa enggak pake pacaran dulu,” kata Suci. “Bisa kok jaga pernikahan sampe tiga puluh tahun. Punya dua anak sehat semua. Mama nyekolahin kamu dari TK sampe kuliah. Mama masakin kamu, sarapan, makan siang, makan malem. Mama nyuciin baju kamu. Mama ngebeliin barang-barang yang kamu mau dan butuhin. Mama ngejalanin kodrat mama sebagai orang tua, sekarang kamu dong yang harus ngejalanin kodrat anak, berbakti sama orang tua, nurut sama kata mama. Sakit hati mama kamu lebih milih Wirya.”

Aulia pernah membicarakan masalah ini dengan Wirya sebelum keputusan penempatan mereka keluar, setelah mereka pembekalan sebelum magang dan mulai memikirkan penempatan.. Mereka duduk di kursi restoran dan aku memandangi dari cermin di tiang.

“Kenapa enggak milih satu pun KPP di Palembang?” kata Wirya.

“Untuk apa di rumah kalau nggak ngerasa di rumah?” kata Aulia lalu menyedot jusnya. “Aku terlalu sering berantem sama mama papa sejak Kak Haris pergi. Daripada jadi anak durhaka mending jadi anak mandiri.” Ia menatap Wirya. “Sekarang semuanya bikin aku bingung. Katanya kasih orang tua itu kayak panas matahari ke bumi, enggak terbalaskan, tapi kok sekarang aku nggak ngerasain kehangatannya ya?”

Wirya merangkul pundaknya dan menyenderkan kepalanya di kepala dia sendiri dan mengusap-usap rambut pelipisnya. “Mungkin orang tua kamu cuma lupa atau belum tahu caranya sayang sama orang lain selain karena kodrat,” kata Wirya. Aulia terpejam nyaman. “Dan kalau kamu merasa tahu caranya, kamu yang harus ngajarin mereka. Mungkin penghalang kehangatan mereka cuma awan mendung. Tinggal kita yang harus bisa menjadikannya hujan.”

Aulia merangkul perut Wirya yang kemudian mendekap dan mengusap-usap punggungnya, membuatnya begitu nyaman. Aulia memandangiku yang memerhatikannya dari belakang. Matanya menyampaikan pertanyaan dari benaknya, apa yang berbeda dari rasa ini dengan rasa sayang orang tuanya, kenapa aku merasa rasa sayang Wirya begitu lengkap?

Dari dinding kamar Aulia lagi, aku memandangi Suci, menunggu ucapan Aulia yang terdiam begitu lama mengingat ucapan Wirya itu.

“Kalau mama sayang sama Aulia cuma karena kodrat,” kata Aulia. Suaranya begitu tenang. “Apa bedanya kita sama hewan? Induk burung juga gitu ke anaknya. Lagian kalau soal kodrat, udah kodratnya juga anak bakal ninggalin orang tuanya. Yang ngebedain cuma waktu. Sekarang atau nanti.”

Aulia menatap lurus ke mata Suci. Diserang seperti itu, Suci membuang mukanya. Napasnya menderu-deru, ia beristighfar berkali-kali sambil memompa dadanya agar lebih luas dan mampu menghilangkan kesesakan. Butuh beberapa menit sampai ia tenang dan memandangi Aulia lagi, tetapi ia memilih beranjak dari kamar itu.

Suci masuk ke kamarnya. Aku bertandang ke meja riasnya. Ia menjatuhkan keranjang dan dirinya di kasur, menghela napas beberapa kali sebelum mulai melipat pakaian, celana dalam, dan kaus kaki. Saat melipat baju Aulia, ia bergeming, memandangi dinding. Seakan di sana ada jawaban, lalu ia memandangi suaminya yang sedang membaca. Ia menghela napas sekali lagi.

“Sekarang Haris nggak pernah ngubungin lagi,” kata Suci sembari lanjut melipat pakaian. “Ntar Aulia juga paling gitu. Asyik sama si Wirya. Apalagi dia sibuk kerja. Dan kalau kita sering ngubungin dia buat nanya kabar, pasti ganggu.” Ia berhenti untuk menghela napas dan beristighfar. “Mama cuma nggak mau bener-bener ditinggal anak mama lagi.”

Rama menatap Suci, terdiam tak tahu tanggapan yang tepat. Lantas Suci menyusun baju-baju di keranjang dan meletakkannya di meja pojok untuk disetrika besok. Ia duduk di meja rias, menatapku. Wajahnya putih bersih, kulitnya kencang, orang takkan menyangka umurnya empat puluhan. Seperti kebiasaan yang telah ia lakukan bertahun-tahun, ia mengolesi semua bagian wajahnya dengan Oxygen Boost Cream keluaran Oriflame. Lalu ia bergeming, menatapku dalam-dalam.

“Kalau sudah kodratnya orang tua untuk membesarkan anak dan melepaskan anak yang sudah dewasa karena hewan pun begitu,” kata Suci, “Kenapa cuma manusia yang dikasih ikatan perasaan antara orang tua dan anaknya? Kenapa cuma manusia yang saat melepaskan anak-anaknya rasanya begitu berat?”
*
Di kursi kerja, Aulia mengangkat ponselnya yang sepi. Sudah hampir seminggu ia tinggal di Salatiga, tetapi belum ada telepon bahkan SMS dari Suci atau Rama. Kemudian ia tersenyum-senyum sendiri. Aku memerhatikanku dari layar ponselnya yang masih gelap. Biasanya ia begitu kalau teringat pada Wirya dan hendak menghubunginya. Benar saja. Ia menekan tombol. Layarnya menyala terang jadi aku tak bisa memandangi mimiknya dari depan, tetapi aku tahu apa yang ia ketik di layar.

Ay, lagi ngapain? Udah makan?
Bosen banget nih seharian rekam SPT, pundak sampe sakit, mata kecapean liat komputer melulu. Huaah.
Coba kalau kerjaanku liat kamu. Seharian pun pasti nggak bosen. :p
Nggak sabar Minggu ini nemenin kamu pulang terus main ke Batur Raden.

Saat Aulia hendak menekan tombol kirim, sesuatu mencegahnya hingga senyumnya redup. Layar ponselnya menggelap, terlalu lama diabaikan, dan aku bisa melihat mimiknya lagi yang bingung sembari ia menggoyang-goyangkan ponselnya. Ia termangu sejenak, memandangiku, memikirkan apa yang kulakukan. Lantas ia menghapus pesan tadi dan mengganti nomor tujuan pesan.

Lagi pada ngapain? Udah pada makan belum?
Di kantor kerjaanku cuma ngerekam SPT sih, tapi tadi kepala seksi muji aku kerjanya cepet banget. Yeay! :)
Kenapa pada nggak ngubungin deh? :(
Aku kangen banget sama mama papa nih.

No comments: