Tuesday, October 2, 2012

Sehabis Hujan

Hujan, bukanlah sahabat karib bagi kebahagiaan. Karenanya, hampir tidak ada satupun manusia di kolong langit ini, yang ingin merayakan hari ulang tahunnya di bawah gelontoran bulir-bulir hujan. Bahkan, dalam gerimis yang paling ringkih sekalipun.

Tapi nasib memang kesunyian milik masing-masing, dan seperti itulah bagaimana nasib menuntunku dalam perayaan hari kelahiranku kali ini. Menyandang kaos ala kadarnya dan celana mambo dekil, yang jadi makin tak enak dilihat karena basah kuyup habis tertempa guyuran hujan, aku terduduk nanar di pojokan halte bus sekitaran wilayah Pasar Rebo.

Bekas tapal-tapal kaki manusia, yang merupakan perpaduan dari air hujan dan liat-liat tanah yang menggumpal, menghampar dengan rupa tak beraturan di sekitaranku. Membikin halte yang sudah tampak lapuk itu jadi semakin terlihat kumuh dan kotor. Telapak tanganku yang mulai keriput akibat kedinginan, kugunakan untuk melipat payung merah yang kubawa dari rumah, kemudian menyandarkannya di tiang penyangga halte. Beberapa meter dari tempatku duduk, orang-orang sibuk berlalu-lalang, silih berganti dalam hiruk pikuk yang dinamis.

Waktu memang sedang berada dalam periode orang-orang pulang kerja. Dan menikmati perpaduan antara wajah-wajah cemas yang basah kuyup milik mereka, sembari mendengarkan berisik suara hujan yang bertubi-tubi menghantam atap halte, sama sekali tidak termasuk ke dalam definisi sore yang indah menurut kamusku. Apalagi, untuk menikmati sebuah seremoni hari ulang tahun.
 
Memang sih, seumur hidupku, aku tak pernah merayakan ulang tahunku. Alasannya tentu saja klise, soal uang. Tidak seperti kebanyakan orang yang sanggup berpesta pora merayakan pertambahan usia mereka dengan bercangkir-cangkir arak atau bhinneka rupa penganan, aku hanyalah satu diantara 356.000 orang miskin yang hidup di ibukota. Boro-boro merayakan ulang tahun, untuk makan sehari-hari saja sering angin-anginan.
 
Aku cuma hidup berdua dengan Mamak sekarang ini. Ayahku, sudah lebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, enam tahun yang lalu. Kepergian Ayah, adalah titik balik dalam kehidupan keluarga kami. Setelahnya, hidupku dan Mamak tidak pernah sama lagi.
 
Mamak yang tadinya cuma ibu rumah tangga biasa,  harus mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga dengan berdagang gorengan dan menjadi buruh cuci serabutan. Hasilnya tidak seberapa. Hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari saja. Karenanya, aku sering menjadikan hal tersebut sebagai alibi saat Mamak mulai mewejangi diriku perihal aku yang tak seharusnya putus sekolah demi ikut-ikutan mencari uang buat makan.
 
Kamu ndak perlu mikir urusan uang, biar itu jadi urusan Mamak. Yang penting kamu lanjutkan sekolahmu,” Kata Mamak waktu itu.
 
Aku boleh dibilang cukup beruntung karena masih sempat menamatkan bangku pendidikan sekolah dasar, meski dengan segala keterbatasan, serta berulang kali menunggak uang SPP. Akan tetapi waktu Mamak menyuruhku untuk melanjutkan sekolah ke bangku SMP saat itu, aku tahu, aku harus menggeleng penuh getir.
 
Ndak mau, aku mau kerja bantu-bantu Mamak. Sekolah, kalau cuma SMP juga percuma. Ndak akan jadi apa-apa," bantahku waktu itu.
 
Ada rasa yang menyakitkan saban melihat Mamak bangun di pagi buta, menyalakan kompor, menata ubo rampe di dapur, menyiapkan dagangannya, dengan wajah sayunya yang masih kelihatan mengantuk itu. Begitu pun saat melihatnya pulang di sore hari, membawa bertumpuk-tumpuk pakaian yang harus disetrikanya sampai larut malam, sehingga menggerogoti waktu istirahatnya yang sudah tak seberapa itu. Sudah cukup Mamak bekerja keras sendirian, pikirku. Biarlah aku ini putus sekolah untuk meringankan perjuangan Mamak membiayai hidup kami.
 
Setelah melalui percakapan yang cukup panjang di suatu malam, pada akhirnya Mamak kehabisan kata-kata untuk membendung keinginanku. Mamak, meski aku yakin di dalam hati kecilnya tidak akan pernah rela melihatku putus sekolah, pada akhirnya memperbolehkanku untuk meninggalkan bangku sekolah.
 
Aku lalu memutuskan untuk kerja serabutan. Kerja apa saja yang aku bisa. Dari mulai jadi loper koran di pagi hari, ngamen dengan suara sumbang dari bus ke bus, cuci motor, semir sepatu, sampai dengan yang sedang kulakukan saat ini : ojek payung. Ya, berhubung musim penghujan mulai tiba, ojek payung adalah salah satu lahan makanan yang tak boleh kusia-siakan. Meskipun sebagai akibatnya, kadang-kadang aku harus mengalami hal-hal yang cukup menyebalkan. Merayakan ulang tahun dalam keadaan basah kuyup dan menggigil kedinginan seperti sekarang ini adalah salah satunya.
 
Kadang-kadang, aku juga suka berpikir, untuk apa sebenarnya aku melanjutkan hidup ini kalau cuma untuk sekedar mencari makan demi bertahan hidup. Orang-orang tak mampu seperti aku ini, terlebih lagi yang putus sekolah, memang seperti tak memiliki tujuan hidup, apalagi pengharapan.
 
Aku ingat pernah membaca sebuah buku di toko buku bekas milik Babah Akiong. Di dalamnya ada tulisan yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah seburuk-buruknya kekerasan. Sebabnya, kemiskinan memangsa harapan manusia secara perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan. Kalau dipikir-pikir benar juga. Gara-gara kemiskinan, aku dan orang-orang lain yang senasib denganku, jadi tak punya harapan buat masa depan. Segala gerak-gerik kami serba terbatasi, terutama untuk hal yang bersangkutan dengan duit.
 
Kemiskinan, harus diakui, sudah dengan semena-mena memberangus harapan-harapan yang kami gantungkan. Misalnya saja harapanku untuk meneruskan sekolah. Kemiskinan juga, telah sukses membikin kami semua cuma tahu satu hal, bekerja untuk mencari makan. Boleh dibilang kami ini hidup hanya untuk makan. Merencanakan kehidupan yang lebih baik di masa depan, sungguh berada di luar jangkauan pikiran kami yang bahkan tak bisa menerka-nerka apakah esok hari masih bisa menemui sejumput nasi di periuk kami atau tidak.
 
"Tro, sudah ndak hujan lagi nih. Pulang saja yuk," suara Juna, rekan seperjuanganku sesama pengojek payung, tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
 
Nama aslinya sebenarnya Junaedi, tapi ia selalu menolak untuk dipanggil Junet, sebagaimana orang-orang lain yang bernama Junaedi selalu dipanggil, ataupun Edi, dan memilih untuk dipanggil Juna saja, karena menurutnya nama itu kedengaran lebih keren dan gagah. Sebagai teman yang baik, aku menuruti saja permintaannya itu meski saban kali memanggil namanya, aku harus menahan tawa yang datang mengkilik-kilik.

"Eh iya, ayo. Kalau hujannya sudah habis begini, mana laku payung kita," ujarku seraya bangkit dari tempat dudukku.

Kutinggalkan halte yang lecak itu bersama Juna. Kemudian menyelip-nyelip lah kami diantara kendaraan-kendaraan yang sedang melaju tersendat-sendat di jalanan, sebelum akhirnya kami berdua berbelok di sebuah gang di dekat pom bensin. Gang yang menjadi satu-satunya akses untuk sampai ke rumah kami.

"Ini hari apa ya Jun?, tanggal berapa?" aku iseng bertanya ke Juna untuk mengetes apa dia ingat dengan tanggal ulang tahunku.

"Hari Kamis, Tro. Tanggalnya 31 Agustus. Memangnya ada apa?" sahutnya.

"Oh, ndak apa-apa kok, pengen tahu saja," balasku. Benar saja dugaanku, Juna tidak ingat dengan tanggal ulang tahunku.

"Seminggu lagi aku ada ujian, Tro. Itu banyak pelajaran yang aku ndak ngerti," Juna mulai bercerita tentang sekolahnya.

Juna memang sedikit lebih beruntung daripada aku. Meskipun juga tergolong orang yang tidak mampu, dia tidak sampai harus putus sekolah sepertiku. Dia, meski juga dengan segala keterbatasan biaya, masih bisa meneruskan sekolahnya ke bangku SMP. Hanya karena ingin mencari uang jajan dari hasil keringat sendiri lah, ia rela berhujan-hujanan mengais rupiah bersamaku dengan menawarkan ojek payung ke orang-orang.

Celotehan Juna panjang lebar soal sekolahnya tak kudengarkan dengan seksama. Pikiranku lebih tertarik untuk mengawang-awang ke kejadian tadi pagi. Kejadian saat Mamak membangunkanku untuk sholat shubuh.

Pagi tadi Mamak membangunkanku seolah-olah hari ini adalah hari yang biasa saja. Hari yang tak jauh beda dibanding hari-hari biasanya. Hari yang tak istimewa buatku, juga bagi Mamak. Padahal, di ulang tahunku yang sebelum-sebelumnya, meski kami tak pernah merayakanya dengat hajatan apapun, Mamak tak pernah alpa menyelamatiku, tepat pada saat dia membangunkanku. Padahal juga, Mamak bukanlah seorang pelupa tanggal ulang tahun yang ulung. Mamak selalu ingat kapan tanggal ulang tahun Ayah. Begitupun dengan tanggal ulang tahun pernikahan mereka. Bahkan, hingga tanggal ulang tahun Pak Presiden pun, Mamak juga ingat. Semua selalu berhasil diingatnya dengan cermat.

Mungkin Mamak kelampau lelah dirongrong kesibukannya sehari-hari sehingga lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Mungkin juga Mamak menganggap aku sudah cukup dewasa sehingga tak perlu lagi diselamati saat hari ulang tahunnya tiba. Atau mungkin juga akulah yang terlalu berlebihan mengkultuskan hari ulang tahun sebagai sebuah momen yang perlu dirayakan. Entahlah mana yang benar.

"Aku duluan ya, Tro. Semoga besok hujan lagi, kalau perlu hujan sepanjang hari," Juna sepertinya hari ini sedang gemar jadi manusia yang suka membuyarkan lamunan orang. Lagi-lagi dia berhasil menarikku keluar dari pasir hisap lamunan senduku.

"Jangan sepanjang hari lah, nanti jemuran Mamakku ndak ada yang kering gimana," balasku sambil terkekeh.

Setelah Juna menghilang masuk ke dalam rumahnya, aku kembali meneruskan lamunanku sembari melangkahkan kaki menuju rumah. Dan bicara soal jemuran Mamak, aku jadi teringat kalau belakangan ini beliau jadi sering pulang lebih malam daripada biasanya. Kalau biasanya Mamak sudah berada di rumah saat ba'da ashar, hampir seminggu ini Mamak selalu pulang di atas pukul tujuh. Saat kutanya mengapa Mamak pulang lebih malam dari biasanya, Mamak cuma mengurai seulas senyum sambil mengingatkan bahwa aku mestinya bersyukur, karena semakin malam Mamak pulang, itu tandanya Tuhan sedang melimpahkan rezeki yang lebih banyak dari yang biasa kami dapatkan.

Aku terus berjalan pulang. Masjid sebelah rumah sudah menyerukan adzan maghrib ketika aku sampai di depan rumah. Kuamati keadaan rumahku yang mayoritasnya terbikin dari triplek itu. Ada yang sedikit aneh darinya. Daun pintunya sedikit terbuka, menandakan kalau rumah ini telah dimasuki seseorang. Jangan-jangan Mamak sudah pulang.

"Maaaaakkk...." aku berteriak untuk memastikan apakah orang yang ada di dalam sana adalah Mamak. Tidak ada sahutan.

Tidak ada orang di dalam. Yang kudapati di dalam hanya dua buah kotak karton di atas meja. Yang satu berukuran sedang, ukurannya sedikit lebih kecil dari kardus mie instan. Yang satunya lagi berukuran kecil, cuma sebesar jengkalan tanganku. Ada secarik kertas ditaruh di atasnya, bertuliskan : "Buat Sastro".

Kubuka kotak-kotak itu dimulai dari yang kecil dahulu. Aroma sedap dan asap segar mengepul dari dalamnya saat penutupnya kubuka. Penganan berwarna kecoklatan yang dipotong bentuk persegi berjejer dan bertumpuk di dalamnya. Martabak! isinya martabak telur kesukaanku! Aku tersenyum. Sudah lama sekali aku tak makan martabak. Kusesap aromanya yang sedap berkali-kali. Sungguh aku pasti kelihatan sangat norak saat mengendus-endusi martabak seperti itu.

Sekarang giliran kotak yang lebih besar kubuka. Dan betapa girangnya aku saat kulihat ternyata isinya adalah buku-buku yang selama ini sering curi-curi kubaca di tempat Babah Akiong. Isinya macam-macam. Dari mulai novel-novel Marah Rusli, buku karangan Ahmad Tohari, biografi Bung Karno, sampai dengan buku pelajaran untuk anak SMP. Senyuman di wajahku bertambah lebar. Ini adalah hadiah indah yang tidak terduga-duga.

"Selamat ulang tahun ya, nak. Maaf, cuma bisa belikan yang seperti itu," suara perempuan tiba-tiba terdengar dari belakangku

Kulihat Mamak berdiri di depan pintu. Wajahnya sumringah. Bibirnya terkembang ke atas, tersenyum riang. Mamak kelihatan cantik sekali sore itu. Aku langsung menghambur ke arahnya, kemudian memeluknya erat-erat. Mamak menciumiku dengan penuh kehangatan. Mengelus-elus ubun-ubunku. Serta mengusap-usap keningku. Ada isyarat penuh kasih sayang yang tergambar jelas dalam setiap gerakannya itu. Beberapa bulir air mata mulai melompat dari kelopak matanya, juga mataku.

"Terima kasih, Mak." aku mengucap dengan terisak-isak. Mamak mengangguk menanah haru.

Rupa-rupanya belakangan ini Mamak mencari tambahan penghasilan di kampung sebelah. Hal inilah yang membikin Mamak jadi sering pulang malam. Mamak juga telah berkoalisi dengan Babah Akiong untuk memilih-milih buku-buku apa yang sekiranya sering kubaca di sana, untuk kemudian dibelinya dan dihadiahkan kepadaku. Mamak sengaja melakukan itu semua, cuma demi memberikanku kejutan di hari ulang tahunku. Dan kealpaan memberikan selamat tadi pagi, ternyata juga sudah direncanakan Mamak, supaya bisa memberikan efek kejut yang benar-benar mengena, katanya.

Sungguh bodoh benar aku tadi menggereutui Mamak di sepanjang jalan, cuma karena Mamak tak mengucapkan selamat ulang tahun pagi tadi. Aku lupa kalau Mamak adalah Mamak. Sosok ibu yang sangat menyayangi anaknya, lebih daripada sekedar ucapan selamat ulang tahun.

Di dalam pelukan Mamak aku mulai menyadari satu hal. Orang-orang yang miskin sepertiku ini, boleh jadi memang tidak memiliki harta yang berlimpah. Tapi orang-orang seperti kami selalu memiliki sesuatu yang disebut keluarga, harta yang sebenar-benarnya. Dan untuk diriku, harta yang paling berharga saat ini adalah Mamak. Satu-satunya keluargaku.

"Kamu mandi dulu sana. Nanti habis itu kita makan martabak sama-sama," kata Mamak sambil mengalungkan handuk di leherku.

Aku tersenyum lagi. Sepertinya kata-kataku di halte sore tadi harus segera kuralat. Sore ini, bukanlah sore yang tidak indah untuk sebuah perayaan ulang tahun. Sore ini, adalah sore yang paling indah sepanjang hidupku.

6 comments:

Unknown said...

cukup menarik cerpen anda...

tapi... konflikasi dari cerita kurang gereget...

coba dtambah tokoh utama nya ditabrak or nyelametin org yg kecelakaan misal...

overall ane rate 4,5*(dari 5*) brow..

lord.u34y said...

bagus nih cerpen...sampe terharu ane gan...

sambil #koprol ane rate *5...

Unknown said...

Kekurangan:
Sebuah peristiwa terjadi kemudian dijelaskan penyebabnya, bukannya ditunjukkan. Contohnya ketika Mamak lupa mengucapkan ulang tahun, si Anak menganggap Mamak lupa karena Mamak orang yang paling tidak pernah lupa, setelah itu penulis secara gamblang memberitahukan kebiasaan Mamak yang tak pernah lupa. Akan lebih baik bila dari awal diceritakan, ditunjukkan melalui adegan, misalnya, ulang tahun ayahnya yang masih dirayakan setelah ayahnya meninggal. Itu menunjukkan bahwa Mamak tak pernah lupa ultah orang-orang yang disayanginya. Barulah ketika Mamak lupa ulang tahun anaknya sendiri, pembaca, bersama pikiran si anak, akan bertanya-tanya kenapa bisa begitu.

Saran:
Konflik utama dalam cerpen ini adalah ketika Mamak lupa ulang tahunnya. Sayang konflik utamanya pun terlalu singkat. Mungkin si anak bisa merajuk, tak mau makan, karena dia juga masih kelas 6 SD, kabur, pulang malam, lalu pada saat sampai rumah ternyata Mamaknya menunggunya sampai ketiduran untuk memberikan kejutan.

Masalahnya dengan Akiong, menurut saya, berpotensi menjadi lebih menarik bila dijadikan konflik pembuka. Karena dijelaskan si Aku suka curi-curi baca, konflik pembukanya bisa saja Akiong yang marah-marah karena si Aku tak sengaja menyobek bukunya dan si Aku diusir tak boleh membaca lagi, padahal novel yang ia curi-curi baca belum diselesaikan dan di akhirnya itu dijadikan hadiah oleh Mamak.

Kelebihan:
Seorang ibu, termasuk ibu saya, pintar mencari cara agar semua anaknya bahagia. Cara tersebut, di sudut pandang anak, terlihat egois, tetapi ternyata memang cara itu yang terbaik. Biasanya sang anak akan bertanya ketika tidak tahan terus mengikuti keinginan sang ibu yang selalu mengesampingkan keinginan sang anak. Namun ketika tahu, sang anak baru tersadar bahwa itu cara yang terbaik. Di sini saya merasakan sosok ibu saya sendiri dan ibu pada umumnya. Sifat naluriah seorang ibu yang ditunjukkan kuat di sini membuat cerpen ini menjadi salah satu favorit saya.

Kutipan favorit:
"Kamu mandi dulu sana. Nanti habis itu kita makan martabak sama-sama," membuat saya semakin sadar bahwa keharmonisan keluarga tetap bisa tercapai dalam kesederhanaan.

David Irawan said...

hmm..
ini ceritanya kan si troll ini anak yg putus sekolah karna pengen bantu emaknya tapi dia tetep suka baca buku. luar biasa sekali, asal yg dibaca itu bukan komik atau stensil kan? ;)
terus kan bilangnya kalo ulang tahun memang gak pernah dirayain kan, kok sempet2nya dia inget soalnya kan dia sibuk nyari uang. terus juga bisa-bisanya mau marah cuman karna gak diucapin. Dan terus gua harus bilang WOW gitu. hahaha


Kutipan favorit:
"Semoga besok hujan lagi, kalau perlu hujan sepanjang hari," membuat saya semakin sadar bahwa sekarang musim kemarau. haha :D

bukan Reza said...

cerpen lo udah cukup bagus gal, tapi sebelum gua kasih komentar ada baiknya gua tanya dulu dari lo sendiri punya komentar gak buat cerpen lo ini?
gua kasih kesempatan buat lo memperbaiki dulu lah sebelum gua kasih komentar gua sendiri.

semoga sukses gal :)

ilhamsas said...

dari semua cerpen saujana, cuma cerpen ini yang tidak saya baca..
ga tau kenapa..

dan setelah tahu cerpen ini yg terbaik, baru tak baca sekarang..
dan hebat.
awalnya mboseni, tapi nyimpen banyak pesan di tiap paragrafnya. bikin setiap pembaca harus lebih jeli..

mungkin cerpen ini ibarat belajar. bikin males tapi punya banyak manfaat.. salut..