Harunya
malam mengingatkanku pada beberapa minggu lalu, tepat di dimalam ibuku berulang
tahun. Canda tawa, senda gurau, dan segala keakraban yang ada mengingatkanku,
bukan hanya mengingatkan, bahkan serasa kembali merasakan malam tersebut
kembali.
*********
Kawan-kawan
lama, sanak saudara yang telah hilang, semua kerabat akrab hadir di malam itu.
Kerinduanku akan keluarga hilang, kerinduanku akan sahabat sirna. Ya… walaupun
hanya semalam. Ya… walaupun hanya di tempat sederhana, sebuah rumah makan berlatar
tema mediteran dengan tambahan ornamen warna pink dan putih berbentuk bunga
yang kami pesan khusus untuk acara itu. Lampu-lampu bercahaya redup, lagu-lagu
romantis, sofa yang nyaman, dan makanan khas timur tengah favorit kami membuat
malam itu menjadi sempurna. Untuk ibuku, bahkan kami semua. Tirai-tirai
menjuntang membuat suasana timur tengah jadi lebih kental.
Obrolan pun
dimulai. Semua komat-kamit, seakan tak ada yang menghentikan mulut kami untuk
berbicara. Dari yang semula hanya basa-basi, tiba-tiba berubah menjadi keriuhan
tawa-tawa pertanda rindu. Menanyakan kabar, menanyakan kegiatan, menanyakan
jodoh, bahkan menanyakan hal-hal yang tidak penting untuk ditanyakan.
Komentar-komentar kecil, sampai komentar bernada sinis pun tak mau kalah untuk
terlontar. Tak ada kesedihan, tak ada keraguan, tak ada kekhawatiran terpancar
di wajah kami. Seakan larut dalam suasana yang kami ciptakan sendiri. Bukan,
bukan terlarut. Tenggelam. Seakan tak ada proses kehidupan yang biasa para awam
katakan.
Di jam menjelang
pertengahan malam, muncul kecemasan di wajah ibuku. Ayahku tak kunjung muncul.
Kami pun mulai bertanya-tanya, dimanakah dia, dimanakah sang pemimpin keluarga
kami. Walaupun ini hanyalah kejutan yang biasa dilakukan oleh para awam, dengan
berpura-pura tak datang, tapi kecemasan itu cukup terasa di wajah ibuku. Keheningan
mulai muncul. Riuh tawa berkurang. Canda gurau pun menghilang.
Ponsel
adalah jawaban yang paling mungkin untuk menjawab itu. Satu kali, dua kali,
tiga kali, bahkan sampai tak terhitung mencoba menghubungi. Berulang kali pun
ku katakan kepada ibuku untuk tenang dan percaya bahwa ayah akan datang. Beberapa
menit berlalu, yang ditunggu tak kunjung datang. Pasrah. Acara harus tetap
berjalan, ada atau tidak adanya ayahku.
Tepat pukul 00.00,
kue ulang tahun berbentuk piramid datang. Diiringi para pelayan yang dikomandoi
langsung oleh ‘sang jenderal’, Ayahku. Sesosok pria setengah baya, dengan
rambut yang mulai memutih dan potongan cepak ala angkatan bersenjata. Meskipun
kenyataannya, dia hanyalah kepala rumah tangga biasa.
Tiga, dua,
satu, Selamat ulang tahun. Terdengar riuh dengan teriakan yang sama. Kuperhatikan
dengan seksama, air mata ibuku seakan kehilangan tembok pembendungnya. Mengalir
dengan deras. Aku tahu apa penyebabnya. Disamping ini adalah perayaan ulang
tahun pertama untuk ibuku, seumur hidupnya, pesta ini juga merupakan pesta
perpisahanku. Diadakan khusus, sebelum aku pergi menjadi pelayan masyarakat di
pulau seberang. Hanya sebagai pelayan masyarakat, aku harus meninggalkan orang-orang
tercinta.
Kuberikan
tissue untuk menyeka air mata ibuku. Dengan tangan gemuknya, disertai senyuman
di bibir indahnya, dia memelukku. Kupeluk erat tubuhnya, kurasakan benar aroma
tubuhnya, ku petakan bentuk badannya yang gemuk di otakku. Agar, aku bisa terus
mengingatnya di pulau seberang nanti. Sebagai suplemen tanpa batas, penguat
hati, dan pengokoh tujuan.
Melihat
kejadian ini, ayahku seakan tak mau kalah untuk memelukku. Kita berpelukan.
Sempat terucap kata maaf. Bukan maksud membuat mereka semakin khawatir, tapi
agar beban di pundakku hilang untuk meninggalkan mereka. Tak terbayang
bagaimana hidupku di pulau seberang tanpa didampingi kedua orang tua ku.
Mungkin aku manja, mungkin tak ubahnya seperti balita, tapi aku memang butuh
mereka. Sembari melepaskan pelukan, kugenggam tangan mereka. Kutatap wajah dan
mata mereka dalam-dalam. Dengan ekspresi tegar yang dibuat-dibuat, kulemparkan
senyumku kepada mereka. Semoga saja cukup mewakili apa yang aku ingin sampaikan
kepada mereka.
Setelah
disalami oleh semua kerabat dan sanak saudara, ibuku memberikan sambutan. Rasa
terima kasih pun dipanjatkan oleh ibuku dengan di dampingi olehku dan ayahku. Dan
dalam sambutannya itu, ibu rupa-rupanya masih sempat membuatku terharu. Bersama
dengan ayahku, mereka berdua silih
berganti memuji dan membangga-banggakan aku. Anak yang selalu mereka ceritakan
dengan penuh semangat membara. Anak yang selalu mereka pamerkan kepada
teman-teman mereka. Anak yang selalu mereka sanjung. Anak yang takkan pernah
mereka relakan untuk merantau. Walaupun di dalam hati, aku pun tahu, aku tak
sesempurna itu.
Tapi
begitulah orang tua. Mereka selalu bangga dan selalu mendukung anaknya, apapun
yang dilakukan. Suasana ceria pun berubah seketika menjadi suasana haru. Semua
orang seakan berebut untuk melihatku. Kuperhatikan mereka dengan seksama.
Beberapa mata-mata yang tadinya ceria, seakan terlihat sendu dan meneteskan air
mata. Bermacam reaksi terjadi. Dari mulai menyalamiku, memberiku wejangan,
memelukku, juga mencium keningku. Bahkan, seorang sahabat berusaha menyita
ponselku, hanya agar aku tak jadi berangkat.
Senyum
kulemparkan pada mereka semua. Kusampaikan rasa terima kasihku pada mereka. Sendu,
haru, dan rindu. Tiga kata itu muncul di permukaan melalui wajah-wajah mereka. Sebenarnya
tak ingin. Sebenarnya tak sanggup. Sampai batas waktu yang ku sendiri pun tak
tahu. Tapi ini konsekuensi dari jalan yang telah aku ambil. Pilihan yang sulit.
Tapi yang pasti, ini merupakan pilihan yang terbaik untukku dari Tuhan. Mungkin,
Dia menginginkan ku agar aku berkeliling nusantara. Atau mungkin, Dia ingin
agar aku mempunyai keluarga di pulau tempat tinggal ku yang baru. Semua jawaban
dalam tanyaku merupakan suatu pembenaran yang cukup menenangkan hati ini.
Semua
makanan yang dipesan telah habis dilahap. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul
tiga. Satu-persatu tamu pergi, kembali ke peraduan masing-masing. Tinggal hanya
menyisakan tiga orang tuan rumah, aku dan ayah ibuku.
Kutatap lagi
wajah mereka. Rasa ikhlas, dan pasrah tersirat di permukaan wajah mereka. Kemudian
kutatap sekali lagi wajah itu, dalam-dalam, untuk meyakinkanku. Ya benar, rasa ikhlas
dan pasrah itu kian terlihat jelas di wajah mereka. Seakan tak ada apa-apa yang
akan terjadi di depan, kami berbicara banyak hal.
Obrolan itu
terus berlanjut, dari mulai meninggalkan lokasi, hingga sampai ke rumah.
Layaknya kawan lama, kami tertawa, bercanda, dan saling melemparkan ledekan. Dan
terus berlnajut sampai kami semua lupa waktu.
Kuperhatikan
jam dinding di ruang tamuku, tak terasa jam delapan pagi sudah. Sudah saatnya aku
tidur. Mengisi tenaga untuk perjalananku mengabdi kepada negara.
*********
Di kamar 3x4
yang telah renta, di sebuah tempat tidur yang telah usang, kurebahkan tubuhku. Kurasakan
air mata mulai menetes di pipiku, berbarengan dengan hilangnya lamunan hayalku.
Hayalan malam sebelum kuberada di tempat asing ini. Aku rindu ibuku. Begitu
hebatnya rindu ini, membuat pikiranku jadi tak karuan. Aku tak dapat
menghilangkan wajah ibuku di kepalaku. Padahal, terpaut jarak ribuan kilometer
jauhnya.
Ah sudahlah,
ini memang takdirku. Harus memendam semua rindu, untuk menunaikan amanat
Negara, sebagai pelayan masyarakat, menghimpun penerimaan negara.
1 comment:
Kekurangan:
Kurang konflik, kurang pertentangan antartokoh. Terlalu self-sentris, terpusat kepada si Aku.
Kelebihan:
Penulis memasukkan unsur budaya mesir di sini, Itu memperkaya unsur ekstrinsik dari cerpen ini. Dan ini bisa jadi potensi konflik yang berlandaskan pada budaya Mesir tersebut.
Post a Comment