Monday, October 1, 2012

Rindu

Harunya malam mengingatkanku pada beberapa minggu lalu, tepat di dimalam ibuku berulang tahun. Canda tawa, senda gurau, dan segala keakraban yang ada mengingatkanku, bukan hanya mengingatkan, bahkan serasa kembali merasakan malam tersebut kembali.

*********

Kawan-kawan lama, sanak saudara yang telah hilang, semua kerabat akrab hadir di malam itu. Kerinduanku akan keluarga hilang, kerinduanku akan sahabat sirna. Ya… walaupun hanya semalam. Ya… walaupun hanya di tempat sederhana, sebuah rumah makan berlatar tema mediteran dengan tambahan ornamen warna pink dan putih berbentuk bunga yang kami pesan khusus untuk acara itu. Lampu-lampu bercahaya redup, lagu-lagu romantis, sofa yang nyaman, dan makanan khas timur tengah favorit kami membuat malam itu menjadi sempurna. Untuk ibuku, bahkan kami semua. Tirai-tirai menjuntang membuat suasana timur tengah jadi lebih kental.

Obrolan pun dimulai. Semua komat-kamit, seakan tak ada yang menghentikan mulut kami untuk berbicara. Dari yang semula hanya basa-basi, tiba-tiba berubah menjadi keriuhan tawa-tawa pertanda rindu. Menanyakan kabar, menanyakan kegiatan, menanyakan jodoh, bahkan menanyakan hal-hal yang tidak penting untuk ditanyakan. Komentar-komentar kecil, sampai komentar bernada sinis pun tak mau kalah untuk terlontar. Tak ada kesedihan, tak ada keraguan, tak ada kekhawatiran terpancar di wajah kami. Seakan larut dalam suasana yang kami ciptakan sendiri. Bukan, bukan terlarut. Tenggelam. Seakan tak ada proses kehidupan yang biasa para awam katakan.

Di jam menjelang pertengahan malam, muncul kecemasan di wajah ibuku. Ayahku tak kunjung muncul. Kami pun mulai bertanya-tanya, dimanakah dia, dimanakah sang pemimpin keluarga kami. Walaupun ini hanyalah kejutan yang biasa dilakukan oleh para awam, dengan berpura-pura tak datang, tapi kecemasan itu cukup terasa di wajah ibuku. Keheningan mulai muncul. Riuh tawa berkurang. Canda gurau pun menghilang.

Ponsel adalah jawaban yang paling mungkin untuk menjawab itu. Satu kali, dua kali, tiga kali, bahkan sampai tak terhitung mencoba menghubungi. Berulang kali pun ku katakan kepada ibuku untuk tenang dan percaya bahwa ayah akan datang. Beberapa menit berlalu, yang ditunggu tak kunjung datang. Pasrah. Acara harus tetap berjalan, ada atau tidak adanya ayahku.

Tepat pukul 00.00, kue ulang tahun berbentuk piramid datang. Diiringi para pelayan yang dikomandoi langsung oleh ‘sang jenderal’, Ayahku. Sesosok pria setengah baya, dengan rambut yang mulai memutih dan potongan cepak ala angkatan bersenjata. Meskipun kenyataannya, dia hanyalah kepala rumah tangga biasa.
Tiga, dua, satu, Selamat ulang tahun. Terdengar riuh dengan teriakan yang sama. Kuperhatikan dengan seksama, air mata ibuku seakan kehilangan tembok pembendungnya. Mengalir dengan deras. Aku tahu apa penyebabnya. Disamping ini adalah perayaan ulang tahun pertama untuk ibuku, seumur hidupnya, pesta ini juga merupakan pesta perpisahanku. Diadakan khusus, sebelum aku pergi menjadi pelayan masyarakat di pulau seberang. Hanya sebagai pelayan masyarakat, aku harus meninggalkan orang-orang tercinta.

Kuberikan tissue untuk menyeka air mata ibuku. Dengan tangan gemuknya, disertai senyuman di bibir indahnya, dia memelukku. Kupeluk erat tubuhnya, kurasakan benar aroma tubuhnya, ku petakan bentuk badannya yang gemuk di otakku. Agar, aku bisa terus mengingatnya di pulau seberang nanti. Sebagai suplemen tanpa batas, penguat hati, dan pengokoh tujuan.

Melihat kejadian ini, ayahku seakan tak mau kalah untuk memelukku. Kita berpelukan. Sempat terucap kata maaf. Bukan maksud membuat mereka semakin khawatir, tapi agar beban di pundakku hilang untuk meninggalkan mereka. Tak terbayang bagaimana hidupku di pulau seberang tanpa didampingi kedua orang tua ku. Mungkin aku manja, mungkin tak ubahnya seperti balita, tapi aku memang butuh mereka. Sembari melepaskan pelukan, kugenggam tangan mereka. Kutatap wajah dan mata mereka dalam-dalam. Dengan ekspresi tegar yang dibuat-dibuat, kulemparkan senyumku kepada mereka. Semoga saja cukup mewakili apa yang aku ingin sampaikan kepada mereka.

Setelah disalami oleh semua kerabat dan sanak saudara, ibuku memberikan sambutan. Rasa terima kasih pun dipanjatkan oleh ibuku dengan di dampingi olehku dan ayahku. Dan dalam sambutannya itu, ibu rupa-rupanya masih sempat membuatku terharu. Bersama dengan ayahku,  mereka berdua silih berganti memuji dan membangga-banggakan aku. Anak yang selalu mereka ceritakan dengan penuh semangat membara. Anak yang selalu mereka pamerkan kepada teman-teman mereka. Anak yang selalu mereka sanjung. Anak yang takkan pernah mereka relakan untuk merantau. Walaupun di dalam hati, aku pun tahu, aku tak sesempurna itu.

Tapi begitulah orang tua. Mereka selalu bangga dan selalu mendukung anaknya, apapun yang dilakukan. Suasana ceria pun berubah seketika menjadi suasana haru. Semua orang seakan berebut untuk melihatku. Kuperhatikan mereka dengan seksama. Beberapa mata-mata yang tadinya ceria, seakan terlihat sendu dan meneteskan air mata. Bermacam reaksi terjadi. Dari mulai menyalamiku, memberiku wejangan, memelukku, juga mencium keningku. Bahkan, seorang sahabat berusaha menyita ponselku, hanya agar aku tak jadi berangkat.

Senyum kulemparkan pada mereka semua. Kusampaikan rasa terima kasihku pada mereka. Sendu, haru, dan rindu. Tiga kata itu muncul di permukaan melalui wajah-wajah mereka. Sebenarnya tak ingin. Sebenarnya tak sanggup. Sampai batas waktu yang ku sendiri pun tak tahu. Tapi ini konsekuensi dari jalan yang telah aku ambil. Pilihan yang sulit. Tapi yang pasti, ini merupakan pilihan yang terbaik untukku dari Tuhan. Mungkin, Dia menginginkan ku agar aku berkeliling nusantara. Atau mungkin, Dia ingin agar aku mempunyai keluarga di pulau tempat tinggal ku yang baru. Semua jawaban dalam tanyaku merupakan suatu pembenaran yang cukup menenangkan hati ini.

Semua makanan yang dipesan telah habis dilahap. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul tiga. Satu-persatu tamu pergi, kembali ke peraduan masing-masing. Tinggal hanya menyisakan tiga orang tuan rumah, aku dan ayah ibuku.

Kutatap lagi wajah mereka. Rasa ikhlas, dan pasrah tersirat di permukaan wajah mereka. Kemudian kutatap sekali lagi wajah itu, dalam-dalam, untuk meyakinkanku. Ya benar, rasa ikhlas dan pasrah itu kian terlihat jelas di wajah mereka. Seakan tak ada apa-apa yang akan terjadi di depan, kami berbicara banyak hal.
Obrolan itu terus berlanjut, dari mulai meninggalkan lokasi, hingga sampai ke rumah. Layaknya kawan lama, kami tertawa, bercanda, dan saling melemparkan ledekan. Dan terus berlnajut sampai kami semua lupa waktu.

Kuperhatikan jam dinding di ruang tamuku, tak terasa jam delapan pagi sudah. Sudah saatnya aku tidur. Mengisi tenaga untuk perjalananku mengabdi kepada negara.

*********

Di kamar 3x4 yang telah renta, di sebuah tempat tidur yang telah usang, kurebahkan tubuhku. Kurasakan air mata mulai menetes di pipiku, berbarengan dengan hilangnya lamunan hayalku. Hayalan malam sebelum kuberada di tempat asing ini. Aku rindu ibuku. Begitu hebatnya rindu ini, membuat pikiranku jadi tak karuan. Aku tak dapat menghilangkan wajah ibuku di kepalaku. Padahal, terpaut jarak ribuan kilometer jauhnya.
Ah sudahlah, ini memang takdirku. Harus memendam semua rindu, untuk menunaikan amanat Negara, sebagai pelayan masyarakat, menghimpun penerimaan negara.

1 comment:

Unknown said...

Kekurangan:
Kurang konflik, kurang pertentangan antartokoh. Terlalu self-sentris, terpusat kepada si Aku.

Kelebihan:
Penulis memasukkan unsur budaya mesir di sini, Itu memperkaya unsur ekstrinsik dari cerpen ini. Dan ini bisa jadi potensi konflik yang berlandaskan pada budaya Mesir tersebut.