Hidupku tak lagi sama. Tak ada senyum yang tulus menyapaku setiap pagi.
Tak ada lagi mengingatkanku jika aku telat bangun subuh atau lupa
membuatkan susu untuk Andi dan Alisa. Tak ada lagi yang memarahiku saat
aku mengeluh dan menguatkan aku. Tidak ada.
Suamiku, pemilik
sepenuh hidupku, penanggung jawab atas hidupku, diminta oleh Sang
Pemilik Waktu untuk segera mengisi surga. Dan aku ditinggal disini
sendiri tanpa pesan apa-apa, tanpa jaminan aku akan menyusulnya ke
surga.
Aku tahu aku harus membeli jalanku sendiri ke surga. Aku
tau aku tak boleh menyalahkan keadaan, tapi tanpa suamiku, aku hanyalah
pendosa yang lain yang berkleliaran di muka bumi.
Air mataku
tidak bisa habis. Pria pemilik segala alasanku untuk tetap hidup sudah
mendahuluiku. Tanpa memberikan pesan apapun, tanpa memberi isyarat
apapun. Walaupun jika diberi isyarat pun, aku tak akan pernah mau
kehilangannya. Tak akan pernah.
“Aku pergi dulu, Ma.”
Andi.
Anak sulungku dari Lelaki yang luar biasa. Dia adalah anak remaja yang
gejolaknya masih meletup-letup. Kehilangan ayahnya karena kecelakaan
beruntun di jalan tol setahun lalu justru membuatnya seakan tak
memperdulikanku. Aku pun sudah tak terlalu memperdulikannya. Aku sibuk
dengan kesedihanku. Aku sibuk membiarkan air mataku mengalir.
Andi
bukan anak nakal. Setidaknya itu pengakuannya. Kesibukannya di ekskul
basket, paskibra, dan futsal membuat rumah ini hanya hotel untuk
menginap dan mandi. Kubiarkan saja selama ini. Kupikir, setiap
kegiatannya juga untuk memupus kesedihannya. Atau dia tidak sedih sama
sekali. Aku tidak tahu. Yang kutahu nafasku tidak pernah lagi setenang
dulu.
“Dana, laporan yang kemarin mana? Yang milik PT DERPI? Harus selesai sore ini lho?”
Ah,
bosku. Laporannya harus kuselesaikan sekarang juga. Kupikir enak sekali
jadi bos di kantor seperti ini. Para karyawan yang pintar dan bekerja
keras, mereka yang dipuji. Mereka yang diberi gaji tinggi. Padahal beban
kerja kami lebih berat.
Disinilah aku. Menggunakan waktuku untuk
mengumpulkan sepeser rupiah agar Andi dan Alisa mampu makan dan sekolah
yang layak. Menjual waktuku untuk para bos berperut gendut yang sering
menggodaku diluar jam kantor. Aku memang janda. Tapi aku tidak rindu
kepuasan biologis. Aku lebih butuh kepuasan psikologis. Dan aku yakin,
tak ada pria yang mampu memberikan nyawanya untukku, seperti yang
dilakukan suamiku.
Suamiku yang mengangkat dan menyelamatkan aku
dari dalam mobil yang terguling itu. Menggendongku ke puskesmas 24 jam
terdekat yang berjarak 4kilometer. Dia menggendongku hingga depan
puskesmas dengan perut yang berlubang. Dia meregang nyawa karena
kehabisan darah di depan pintu puskesmas, dengan aku yang tak sadarkan
diri di pelukannya.
Jadi jika mereka pikir aku akan dengan mudah
tergoda oleh kepuasan biologis dan uang yang mereka tawarkan,mereka
salah. Aku tak akan menjual hatiku selain kepada satu Pria yang memiliki
setiap degup jantungku.
“Baik, Pak. Akan saya kerjakan segera. Dan tolong singkirkan tangan bapak dari pundak saya.”
Bosku
merengut kesal. Aku meneruskan pekerjaanku. Mencoba mereasakan lelahku.
Aku rindu sekali lelah. Aku bosan sedih. Tapi setiap aku mencoba
mengukir senyum di bibirku, wajah suamiku yang terlintas disana.
Kemudian yang terjadi, air mataku jatuh dengan cepat ke bumi.
Meninggalkan aku bersama kesedihanku.
“Hari ini kita lembur! PT
HERPI minta diselesaikan besok pagi. Semua pegawai harus menyelesaikan
semua berkasnya sebelum tengah malam!”
Ah, saat yang tepat.
Semoga aku segera lelah. Dan pulang. Aku harus menelpon penjaga Alisa
kalau aku pulang lebih larut. Walaupun itu artinya aku harus membayarnya
lebih.
Alisa masih berumur enam tahun. Terlalu kecil untuk
ditinggalkan sendiri di rumah. Karena itu aku menyewa pembantu untuk
menjaganya selama aku bekerja.
“Waalaikumsalam, Mamaaaaaa.”
Sebuah suara kecil menyambut salamku ceria saat aku masuk rumah.
“Mama.
Aku tadi liat topeng monyet, Ma. Lucu banget. Tapi kasian di rantai.
Aku kasih uang jajanku semua buat monyetnya. Buat maem.”
Aku hanya tersenyum dan mengambil segelas air.
“Monyet
sukanya makan pisang kan, Ma? Kenapa ga dikasi nasi aja ya, Ma? Adek
maemnya nasi terus jadi gendut gini. Kalo monyetnya maem nasi kan bisa
gendut kayak adek. Ga kurus gitu.”
Aku kembali terseenyum dan menghempaskan badanku ke kursi.
“Monyet
tinggalnya dimana sih, Ma? Ko aku jarang liat? Aku banyaknya liat
kucing, burung, belalang, ikan. Baru tadi liat monyet abis dikasih tau
Riza.”
Senyumku kusimpan. Aku meneguk air yang kuambil tadi.
“Monyet kalo udah gede seberapa ya, Ma!”
“ALISA MAMA CAPEK! TANYANYA BESOK AJA. LAGIPULA KENAPA KAMU JAM SEGINI BELUM TIDUR!”
Gadis
kecil itu kaget terdiam. Kelelahanku membuat aku malas mendengar
omelannya. Lagipula malam hari adalah waktu aku untuk menangisi
kemalanganku.
Lima detik kemudian dia berlari sambil menangis.
Dia berlari ke kamar Andi, kakaknya. Seketika dadaku sesak. Apa yang
kulakukan. Aku membentak anakku sendiri. Buah hatiku dengan lelaku
sempurnaku. Aku mengikutinya memasuki kamar Andi.
Aku melihat
Alisa memeluk kakaknya dengan terisak-isak. Aku hanya diam di depan
pintu. Mata Andi tajam mengarah ke mataku. Aku menyesal membentak Alisa.
Aku telah membuatnya sesedih itu.
“Huaaaaa. Kenapa Mama marahin
aku, Kak? Huaaaa..” ujar Alisa sambil sesenggukan. Aku masih terdiam di
pintu. Membiarkan Andi yang menenangkan.
“Cup cup cup. Mama lagi
capek aja, dek. Nanti kalo udah ga capek, pasti adek diajak main lagi
ya.” Andi menenangkan adik satu-satunya sambil mengelu-elus punggungnya.
Aku masih terpaku melihatnya. Mata Andi masih tertuju padaku.
“Hik,
hik, hik. Kenapa Mama marah terus kalo aku nanya. Padahal Papa dulu
bilang ke adek. Adek disuruh banyak nanya Mama, biar adek pinter. Kata
Papa, Mama suka anak yang pinter.”
Seketika aku menghambur ke arah mereka. Memeluk mereka erat dengan air mata mengalir deras. Aku merasa bodoh.
Aku
merasa selama ini Tuhan tidak adil tidak membiarkan suamiku memberi
pesan terakhirnya untukku. Tapi aku salah. Mereka inilah pesan terakhir
suamiku. Pesan yang tak akan pernah berhenti memberiku ruang untuk
bersyukur.
“Maafin, Mama ya, dek. Mama ga akan marah-marah lagi kalo adek nanya. Mama ga akan diemin adek lagi kalo sdek lagi cerita.”
“Hik hik hik. Benelan?”
“Bener.”
“Janji.”
“Iya, Mama janji.”
Tangisnya terhenti. Kukecup dahinya. Kulihat anak sulungku yang ikut berurai air mata.
“Mama
udah ya sedihnya. Papa ga bakal suka kalo Mama nangis tiap malem. Papa
juga ga bakal suka liat Mama yang ga pernah senyum lagi.”
“Iya, Kak. Maafin Mama.”
Isakku
muncul lagi. Aku memeluk mereka lagi. Merasakan hangat tubuh para
pemilik harapanku. Para jiwa yang akan aku pertanggung jawabkan hidupnya
di akhirat nanti. Para insane pemilik pesan yang ditinggalkan suamiku
untukku. Para penata hatiku.
“Ma, kakak punya sesuatu untuk
Mama.” Ujar Andi sambil melepaskan pelukanku dan mengambil sesuatu dari
tasnya. Sebuah buku kecil dan sebuah kunci.
“Ini buat Mama. Kakak
selama ini ga ikut ekskul, Ma. Maaf kakak bohong. Kakak kerja jadi
waiter di restorannya Pak Joko. Ini hasil tabungan Kakak setahun. Maaf
cuma bisa beliin yang bekas. Yang penting Mama kalo ke kantor ga susah
lagi. Bisa naik motor ini.”
Nafasku tercekat. Kupeluk lagi
mereka. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Menyesali kebodohanku
selama ini, kemudian mensyukuri harta yang kupunya. Harta yang akan
menahan kepalaku untuk menunduk pada kesedihan. Harta yang akan kujaga
sampai akhir hayatku, sama seperti suamiku menjagaku hingga akhir
hayatnya.
2 comments:
Kekurangan:
Tidak perlu menggunakan UPPER CASE untuk mendeskripsikan intonasi teriak. Cukup jelaskan bahwa intonasinya meninggi. Hal ini membangkitkan lagi trauma saya pada postingan Ms. Caps Lock setahun lalu. Ah, tak ada komentar lagi tentang kekurangannya. Saya harus istirahat dulu, menghilangkan trauma ini.
Kelebihan:
1. Saya suka sekali kalimat pembukanya, membuat saya langsung bertanya-tanya apa yang terjadi dengan si Aku. Kalau ada penghargaan untuk kalimat pembuka terbaik, cerpen ini yang akan menang.
2. Alisa yang cerewet benar-benar penggambaran anak lima tahun yang ingin tahu dunia yang baru dikenalnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang topeng monyet, yang terlihat sepele, jelas cocok dengan Alisa. Karakter Alisa jauh lebih baik daripada karakter anak-anak di sinetron yang terlihat begitu dewasa dan bijaksana dalam ucapannya. Ini menandakan penulis peka terhadap lingkungannya, bahkan detailnya.
Saran:
Sertakan deskripsi gerak tubuh tokoh setelah dialog sehingga tidak ada dialog yang berturut-turut tanpa narasi, apalagi ketika Alisa cerewet. Hal itu akan menjadikan tokoh lebih berdimensi, terutama Alisa, dia akan terbayang lebih menggemaskan.
Selain beberapa salah ketik ("berkleliaran", "sdek") dan penggunaan huruf kapital (maafkan saya, Ms. Caps Lock! :D) rasanya tidak ada yang perlu dikoreksi. Saya suka dengan penggambaran seorang janda sekaligus single mom di cerita ini, tentang godaan di lingkungan kerjanya dan kesetiaannya pada sang suami meskipun ia sudah berpulang. Menurut saya resolusi konflik pada saat si ibu ini memarahi Alisa bisa dibuat lebih mengena, misalnya bagaimana pandangan mata Andi kepada si ibu membangkitkan suatu emosi atau ingatan tertentu terhadap suaminya dulu, baru timbul penyesalan. Ending-nya juga bisa dikaitkan dengan pandangan awal ibu tentang Andi: bagaimana penyesalan telah mencap bahwa Andi selama ini "seakan tak memperdulikannya".
Kutipan favorit:
"Aku tahu aku harus membeli jalanku sendiri ke surga. Aku tahu aku tak boleh menyalahkan keadaan, tapi tanpa suamiku, aku hanyalah pendosa yang lain yang berkeliaran di muka bumi."
Post a Comment