Tuesday, October 2, 2012

Despair

Hidupku tak lagi sama. Tak ada senyum yang tulus menyapaku setiap pagi. Tak ada lagi mengingatkanku jika aku telat bangun subuh atau lupa membuatkan susu untuk Andi dan Alisa. Tak ada lagi yang memarahiku saat aku mengeluh dan menguatkan aku. Tidak ada.

Suamiku, pemilik sepenuh hidupku, penanggung jawab atas hidupku, diminta oleh Sang Pemilik Waktu untuk segera mengisi surga. Dan aku ditinggal disini sendiri tanpa pesan apa-apa, tanpa jaminan aku akan menyusulnya ke surga.

Aku tahu aku harus membeli jalanku sendiri ke surga. Aku tau aku tak boleh menyalahkan keadaan, tapi tanpa suamiku, aku hanyalah pendosa yang lain yang berkleliaran di muka bumi.

Air mataku tidak bisa habis. Pria pemilik segala alasanku untuk tetap hidup sudah mendahuluiku. Tanpa memberikan pesan apapun, tanpa memberi isyarat apapun. Walaupun jika diberi isyarat pun, aku tak akan pernah mau kehilangannya. Tak akan pernah.

“Aku pergi dulu, Ma.”

Andi. Anak sulungku dari Lelaki yang luar biasa. Dia adalah anak remaja yang gejolaknya masih meletup-letup. Kehilangan ayahnya karena kecelakaan beruntun di jalan tol setahun lalu justru membuatnya seakan tak memperdulikanku. Aku pun sudah tak terlalu memperdulikannya. Aku sibuk dengan kesedihanku. Aku sibuk membiarkan air mataku mengalir.

Andi bukan anak nakal. Setidaknya itu pengakuannya. Kesibukannya di ekskul basket, paskibra, dan futsal membuat rumah ini hanya hotel untuk menginap dan mandi. Kubiarkan saja selama ini. Kupikir, setiap kegiatannya juga untuk memupus kesedihannya. Atau dia tidak sedih sama sekali. Aku tidak tahu. Yang kutahu nafasku tidak pernah lagi setenang dulu.

“Dana, laporan yang kemarin mana? Yang milik PT DERPI? Harus selesai sore ini lho?”

Ah, bosku. Laporannya harus kuselesaikan sekarang juga. Kupikir enak sekali jadi bos di kantor seperti ini. Para karyawan yang pintar dan bekerja keras, mereka yang dipuji. Mereka yang diberi gaji tinggi. Padahal beban kerja kami lebih berat.

Disinilah aku. Menggunakan waktuku untuk mengumpulkan sepeser rupiah agar Andi dan Alisa mampu makan dan sekolah yang layak. Menjual waktuku untuk para bos berperut gendut yang sering menggodaku diluar jam kantor. Aku memang janda. Tapi aku tidak rindu kepuasan biologis. Aku lebih butuh kepuasan psikologis. Dan aku yakin, tak ada pria yang mampu memberikan nyawanya untukku, seperti yang dilakukan suamiku.

Suamiku yang mengangkat dan menyelamatkan aku dari dalam mobil yang terguling itu. Menggendongku ke puskesmas 24 jam terdekat yang berjarak 4kilometer. Dia menggendongku hingga depan puskesmas dengan perut yang berlubang. Dia meregang nyawa karena kehabisan darah di depan pintu puskesmas, dengan aku yang tak sadarkan diri di pelukannya.

Jadi jika mereka pikir aku akan dengan mudah tergoda oleh kepuasan biologis dan uang yang mereka tawarkan,mereka salah. Aku tak akan menjual hatiku selain kepada satu Pria yang memiliki setiap degup jantungku.

“Baik, Pak. Akan saya kerjakan segera. Dan tolong singkirkan tangan bapak dari pundak saya.”

Bosku merengut kesal. Aku meneruskan pekerjaanku. Mencoba mereasakan lelahku. Aku rindu sekali lelah. Aku bosan sedih. Tapi setiap aku mencoba mengukir senyum di bibirku, wajah suamiku yang terlintas disana. Kemudian yang terjadi, air mataku jatuh dengan cepat ke bumi. Meninggalkan aku bersama kesedihanku.

“Hari ini kita lembur! PT HERPI minta diselesaikan besok pagi. Semua pegawai harus menyelesaikan semua berkasnya sebelum tengah malam!”

Ah, saat yang tepat. Semoga aku segera lelah. Dan pulang. Aku harus menelpon penjaga Alisa kalau aku pulang lebih larut. Walaupun itu artinya aku harus membayarnya lebih.

Alisa masih berumur enam tahun. Terlalu kecil untuk ditinggalkan sendiri di rumah. Karena itu aku menyewa pembantu untuk menjaganya selama aku bekerja.

“Waalaikumsalam, Mamaaaaaa.”

Sebuah suara kecil menyambut salamku ceria saat aku masuk rumah.

“Mama. Aku tadi liat topeng monyet, Ma. Lucu banget. Tapi kasian di rantai. Aku kasih uang jajanku semua buat monyetnya. Buat maem.”

Aku hanya tersenyum dan mengambil segelas air.

“Monyet sukanya makan pisang kan, Ma? Kenapa ga dikasi nasi aja ya, Ma? Adek maemnya nasi terus jadi gendut gini. Kalo monyetnya maem nasi kan bisa gendut kayak adek. Ga kurus gitu.”

Aku kembali terseenyum dan menghempaskan badanku ke kursi.

“Monyet tinggalnya dimana sih, Ma? Ko aku jarang liat? Aku banyaknya liat kucing, burung, belalang, ikan. Baru tadi liat monyet abis dikasih tau Riza.”

Senyumku kusimpan. Aku meneguk air yang kuambil tadi.

“Monyet kalo udah gede seberapa ya, Ma!”

“ALISA MAMA CAPEK! TANYANYA BESOK AJA. LAGIPULA KENAPA KAMU JAM SEGINI BELUM TIDUR!”

Gadis kecil itu kaget terdiam. Kelelahanku membuat aku malas mendengar omelannya. Lagipula malam hari adalah waktu aku untuk menangisi kemalanganku.

Lima detik kemudian dia berlari sambil menangis. Dia berlari ke kamar Andi, kakaknya. Seketika dadaku sesak. Apa yang kulakukan. Aku membentak anakku sendiri. Buah hatiku dengan lelaku sempurnaku. Aku mengikutinya memasuki kamar Andi.

Aku melihat Alisa memeluk kakaknya dengan terisak-isak. Aku hanya diam di depan pintu. Mata Andi tajam mengarah ke mataku. Aku menyesal membentak Alisa. Aku telah membuatnya sesedih itu.

“Huaaaaa. Kenapa Mama marahin aku, Kak? Huaaaa..” ujar Alisa sambil sesenggukan. Aku masih terdiam di pintu. Membiarkan Andi yang menenangkan.

“Cup cup cup. Mama lagi capek aja, dek. Nanti kalo udah ga capek, pasti adek diajak main lagi ya.” Andi menenangkan adik satu-satunya sambil mengelu-elus punggungnya. Aku masih terpaku melihatnya. Mata Andi masih tertuju padaku.

“Hik, hik, hik. Kenapa Mama marah terus kalo aku nanya. Padahal Papa dulu bilang ke adek. Adek disuruh banyak nanya Mama, biar adek pinter. Kata Papa, Mama suka anak yang pinter.”

Seketika aku menghambur ke arah mereka. Memeluk mereka erat dengan air mata mengalir deras. Aku merasa bodoh.

Aku merasa selama ini Tuhan tidak adil tidak membiarkan suamiku memberi pesan terakhirnya untukku. Tapi aku salah. Mereka inilah pesan terakhir suamiku. Pesan yang tak akan pernah berhenti memberiku ruang untuk bersyukur.

“Maafin, Mama ya, dek. Mama ga akan marah-marah lagi kalo adek nanya. Mama ga akan diemin adek lagi kalo sdek lagi cerita.”

“Hik hik hik. Benelan?”

“Bener.”

“Janji.”

“Iya, Mama janji.”

Tangisnya terhenti. Kukecup dahinya. Kulihat anak sulungku yang ikut berurai air mata.

“Mama udah ya sedihnya. Papa ga bakal suka kalo Mama nangis tiap malem. Papa juga ga bakal suka liat Mama yang ga pernah senyum lagi.”

“Iya, Kak. Maafin Mama.”

Isakku muncul lagi. Aku memeluk mereka lagi. Merasakan hangat tubuh para pemilik harapanku. Para jiwa yang akan aku pertanggung jawabkan hidupnya di akhirat nanti. Para insane pemilik pesan yang ditinggalkan suamiku untukku. Para penata hatiku.

“Ma, kakak punya sesuatu untuk Mama.” Ujar Andi sambil melepaskan pelukanku dan mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah buku kecil dan sebuah kunci.

“Ini buat Mama. Kakak selama ini ga ikut ekskul, Ma. Maaf kakak bohong. Kakak kerja jadi waiter di restorannya Pak Joko. Ini hasil tabungan Kakak setahun. Maaf cuma bisa beliin yang bekas. Yang penting Mama kalo ke kantor ga susah lagi. Bisa naik motor ini.”

Nafasku tercekat. Kupeluk lagi mereka. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Menyesali kebodohanku selama ini, kemudian mensyukuri harta yang kupunya. Harta yang akan menahan kepalaku untuk menunduk pada kesedihan. Harta yang akan kujaga sampai akhir hayatku, sama seperti suamiku menjagaku hingga akhir hayatnya.

2 comments:

Unknown said...

Kekurangan:
Tidak perlu menggunakan UPPER CASE untuk mendeskripsikan intonasi teriak. Cukup jelaskan bahwa intonasinya meninggi. Hal ini membangkitkan lagi trauma saya pada postingan Ms. Caps Lock setahun lalu. Ah, tak ada komentar lagi tentang kekurangannya. Saya harus istirahat dulu, menghilangkan trauma ini.

Kelebihan:
1. Saya suka sekali kalimat pembukanya, membuat saya langsung bertanya-tanya apa yang terjadi dengan si Aku. Kalau ada penghargaan untuk kalimat pembuka terbaik, cerpen ini yang akan menang.

2. Alisa yang cerewet benar-benar penggambaran anak lima tahun yang ingin tahu dunia yang baru dikenalnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang topeng monyet, yang terlihat sepele, jelas cocok dengan Alisa. Karakter Alisa jauh lebih baik daripada karakter anak-anak di sinetron yang terlihat begitu dewasa dan bijaksana dalam ucapannya. Ini menandakan penulis peka terhadap lingkungannya, bahkan detailnya.

Saran:
Sertakan deskripsi gerak tubuh tokoh setelah dialog sehingga tidak ada dialog yang berturut-turut tanpa narasi, apalagi ketika Alisa cerewet. Hal itu akan menjadikan tokoh lebih berdimensi, terutama Alisa, dia akan terbayang lebih menggemaskan.

Andreas Rossi said...

Selain beberapa salah ketik ("berkleliaran", "sdek") dan penggunaan huruf kapital (maafkan saya, Ms. Caps Lock! :D) rasanya tidak ada yang perlu dikoreksi. Saya suka dengan penggambaran seorang janda sekaligus single mom di cerita ini, tentang godaan di lingkungan kerjanya dan kesetiaannya pada sang suami meskipun ia sudah berpulang. Menurut saya resolusi konflik pada saat si ibu ini memarahi Alisa bisa dibuat lebih mengena, misalnya bagaimana pandangan mata Andi kepada si ibu membangkitkan suatu emosi atau ingatan tertentu terhadap suaminya dulu, baru timbul penyesalan. Ending-nya juga bisa dikaitkan dengan pandangan awal ibu tentang Andi: bagaimana penyesalan telah mencap bahwa Andi selama ini "seakan tak memperdulikannya".

Kutipan favorit:

"Aku tahu aku harus membeli jalanku sendiri ke surga. Aku tahu aku tak boleh menyalahkan keadaan, tapi tanpa suamiku, aku hanyalah pendosa yang lain yang berkeliaran di muka bumi."