Tuesday, October 2, 2012

Klise Saja

“Brooommm. .” Deru suara mobil minivan ini melaju menyusuri jalan yang padat.

“Pelan, pelan saja nak, kenapa harus buru-buru?” Ibunya mengeluh, entah ini sudah yang keberapa kalinya.

“Mau bagaimana lagi bu? Meja kita sudah dipesan buat jam setengah delapan. Nanti kalau diambil orang bagaimana?” balasnya sambil terus memandang kearah jalan.

“Mana mungkin mereka mau mengambil meja kita. Kan sudah kaupanjar nak. Lagian, yang tadi mandinya telat siapa coba? Kamu itu ya bla. . bla. . bla.. bla. . bla. .” Entah apalagi yang telah dikatakan oleh ibunya, akupun tak bisa mengingatnya.

Dan dia terus duduk menghadap kearah jendela mobil sembari tersenyum. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin sebenarnya dia tahu bahwa meja kami tidak akan diambil orang. Tapi dasar dia yang selalu saja mencari alasan supaya bisa mengemudi dengan kecepatan tinggi. Atau dia memang sama seperti aku, yang memang senang sekali menggoda wanita yang ada di kursi belakang mobil ini. Ah dalam banyak hal kami memang mirip, walaupun dia sering menyangkal tentang hal ini.

“Kenapa tidak pelan-pelan saja bawa mobilnya nak?” Aku kemudian mengangkat bicara.

Dia tersenyum, kemudian setengah berkata “Karena mungkin aku tidak akan bisa lagi membawa mobil seperti ini di tempat aku nanti Ayah. Kau tahu, mungkin kalau mereka punya jalan yang diaspal saja, itu sudah keajaiban sekali.”

Aku tertawa kecil. Sembari melihat kebelakang. Kulihat ibunya tidak mendengarkan apa yang kami bicarakan. Dia lebih sibuk melampiaskan kekesalannya melalui tombol-tombol qwerty yang ada di jemarinya.

“Ciiiiiittt. .” Tak lama berselang, mobil minivan ini telah tiba di tempat yang kami tuju.

“Kau tahu yah, sudah tidak layak lagi kau pakai mobil ini. Masa mobilmu sama jenisnya dengan mobil para bawahanmu?”

“Ya sudah, kalau begitu, kau saja yang mengganti ya nak kapan2” Canda ibunya

Dia tersenyum lagi, entah apa maksudnya. Kalau kata para bijak di cina, senyum wanita bisa meruntuhkan negara. Maka senyum misterius anakku bisa meruntuhkan alam semesta dengan segala rahasia yang menyertainya.

“Ah sudahlah, kau tidak perlu merisaukan hal itu” Aku segera membalas.  “Bukan karena kami tidak mampu, maka kami tidak membeli mobil baru. Ada prioritas lain yang lebih penting dari itu.”

Anakku tidak menjawab, dan kemudian melangkah masuk kedalam tempat makan tersebut. Tak berselang lama setelah kami disambut oleh seorang pelayan, yang kemudian membawa kami ke suatu meja di salah satu sudut tempat makan tersebut, dan setelah kami duduk dan memesan makanan dan minuman, yang tetap saja dilalui dengan keributan kecil karena dia memesan minuman yang menurut ibunya belum pantas untuk dipesannya. Akupun terdiam dan mulai memperhatikan sekeliling.

Rumah makan ini bisa dikatakan bagus dengan suasana malam ini. Kursi dan meja putih  yang mengkilap ini benar-benar nyaman untuk diduduki. Dan lihatlah semua cara berpakaian dan berperilaku orang yang sedang ada disini. Semuanya sangat rapi dan bergaya. Nampak bahwa mereka semua berasal dari kelas sosial yang tinggi. Pelayan-pelayan yang melayani juga semuanya benar-benar berkelas. Ini restoran yang mahal. Entah berapa dana yang sudah dihabiskan anakku untuk membayar ini semua.

Kemudian, Setelah melalui pembicaraan panjang tentang rencana-rencana kedepan yang sudah berpuluh-puluh kali diulang, makanan kami pun akhirnya datang. Setelah mengucapkan doa dan syukur, kami pun mulai mencicipi satu-satu hidangan yang disediakan.

Ditengah acara makan ini, tiba-tiba ia bertanya, “Menurut ayah, bagaimana dengan restoran ini?”

“Bagus” Kataku begitu saja sambil mengunyah daging yang ada dihadapanku.

Kali ini diam dan tidak berkata apa-apa. Mungkin dia kesal akan sikapku yang selalu dingin dihadapannya. Tapi begitulah seorang lelaki. Kuharap setelah dia besar, dan memiliki keluarga, dia akan mengerti.

Setelah acara makan kami selesai, anakku kemudian berkata sambil menyeka mulutnya dengan serbet yang dikenakannya.

“Jadi kita mulai saja acara kita. Jadi begini ayah, ibu. Dengan aku mengundang ayah dan ibu ke restoran ini, adalah sebagai wujud penghormatanku atas apa yang ayah telah berikan kepadaku.”

“Tapi nak, bagaimana kau mampu membayar ini semua?” Ibunya akhirnya bersuara, seolah-olah ia mampu membaca pikiranku.

“Kenapa kalian mengkhawatirkan sekali hal itu” Nada bicaranya mulai meninggi.

“Tapi nak…”

Setelah menghela nafas, dia pun berkata kembali.

“Jadi begini. Aku sudah menabung sekian lama untuk mempersiapkan ini semua. Aku rasa untuk perpisahanku dengan kalian kali ini, aku ingin mempersiapkan yang terbaik buat kalian. Itu saja. Jadi bagaimana urusan pembayaran, itu seharusnya bukan menjadi masalah”

Dan kami pun terdiam lagi. Diam mungkin sudah menjadi bahasa sehari-hari di keluarga kami. Keluarga yang berisikan orang-orang yang senang berpikir dan menyusun kata sebelum mengutarakannya.

“Dan sekarang, jika ada sesuatu yang ingin kalian sampaikan kepadaku, pada momen seperti ini sebelum nantinya aku memulai perjalananku, katakanlah.”

Yah, ini memang seharusnya begitu. Memang akhirnya acara makan ini akan menjadi isyarat perpisahan. Aku berpandang-pandangan dengan Ibunya. Mengisyaratkan siapa yang harus berbicara. Ibunya, yang memang masih menghargai budaya di adat kami, walaupun kelihatannya dengan berat hati, mulai angkat bicara.

“Begitulah nak. Ibu sudah tidak mau menangis lagi gara-gara ini. Ibu sudah berupaya untuk memaksamu tetap tinggal. Tapi kau tetap kukuh dengan pendirianmu. Sepertinya sudah tidak akan ada lagi artinya kita berdebat disini. Kau adalah anak laki-laki kami. Anak satu-satunya kami. Tapi bagaimanapun kau adalah dirimu.  Dan memang iya, kau pasti tahu yang terbaik bagi dirimu. Kau sudah dewasa, sudah mengerti apa yang baik dan yang buruk. Dan kami pun pasti akan tetap berusaha mendukung apapun keputusanmu.”

Anakku tersenyum kembali. Tapi kali ini aku bisa menangkap arti senyumnya. Senyum yang melambangkan kelegaan. Sebuah penebusan  akan rasa bersalah yang dialaminya terhadap kekecewaan kami. Kemudian setelah itupun dia berkata.

“Terima kasih bu. Itu adalah pernyataan yang benar-benar membuatku senang. Akhirnya setelah sekian lama, kita tidak perlu berdebat lagi dalam memutuskan suatu hal. Tapi aku rasa ada yang hilang kalau tidak ada debat dengan ibu. Mungkin kedepannya, aku akan mencari pendamping yang senang diajak berdebat, tanpa ada yang seharusnya mengalah.”

Kami pun tertawa kecil. Dan disambung kembali dengan guyonan anakku.

“Setelah itu, kami akan menyelesaikannya di atas ranjang” katanya sambil mengedipkan mata.

Kami pun tertawa terbahak-bahak bersamaan bersamaan. Ibunya melempar serbet yang dikenakannya kearahnya. Ahh. . dia memang benar-benar mirip denganku, selalu bisa membuat suasana setegang apapun menjadi cair.

Kami pun terdiam kembali. Dan tak lama, ibunya menyikut lenganku.

“Dan sekarang giliran ayah”

Yah ini memang giliranku. Aku mulai mengumpulkan kalimat-kalimat apa yang semestinya kuucapkan. Aku mencoba menggali lagi kenangan-kenangan yang telah kulalui bersamanya untuk kusertakan bersama dengan ucapanku.

Tapi, kenapa tiba-tiba kenangan itu mulai memudar. Berganti dengan kenyataan yang kuhadapi sekarang bahwa anakku satu-satunya akan pergi untuk menggapai impian yang telah dipeliharanya selama ini.
Dan tiba-tiba rasa sendu muncul dihatiku. Rasa kesedihan mendalam bahwa aku akan kehilangan sosok yang telah kubesarkan dengan sepenuh hati.

Ah tidak, aku tidak boleh menangis. Ini anakku, yang dulu pernah kugendong sewaktu bayi dan selalu tertawa lebar tiap kali aku melemparnya ke udara. Yang dulu memandikan aku dengan keceriaan setelah kelelahan menyelimutiku di kantor. Yang pernah kukurung di kamar mandi karena tidak mau menaatiku untuk belajar. Yang pernah kutampar karena ketahuan merokok. Yang dengan bangga menceritakan kemenangan yang diperolehnya dalam sebuah kompetisi. Dan ahh. . kenangan-kenangan ini datang silih berganti begitu cepat. Seperti kedipan-kedipan gambar yang terus menerus diproyeksikan oleh pemutar film. Dan sekarang, film ini telah selesai dan akan segera diganti dengan sebuah cerita baru. Cerita tanpa anakku didalamnya.

Ya Tuhan, aku berjanji aku tidak akan menangis. Tapi ah, aku kalah, bahkan dengan wanita yang ada disebelahku ini. Pelupuk mataku bagai menemukan sebuah mata air di sudutnya. Astaga aku kenapa? Aku ini laki-laki, seorang suami dan juga seorang ayah. Tapi air mata ini tetap saja tidak mau berhenti dan terus mengalir lagi.

Ibunya mulai menyadarinya dan memegang lenganku. Matanya juga berair karena melihatku seperti itu. Namun seperti biasa, ia mencoba untuk bersikap kuat disaat aku sedang lemah. Dan anakku, anakku terdiam melihat ayahnya yang selalu mengajarkannya untuk bersikap layaknya seorang laki-laki, tidak mampu berkata apa-apa. Ekspresi keterkejutan sarat terpampang di wajahnya.

Dan entah bisikan siapa yang menyuruhku melakukan ini, tiba-tiba aku memeluknya. Dan sambil menangis kencang tersedu-sedu terus memeluknya. Ah persetan dengan semua ini. Persetan dengan harga diri. Persetan dengan orang-orang disekeliling yang memperhatikan kami. Aku tidak tahu kenapa aku melakukan hal ini. Tapi biarlah ini membuktikan  bahwa betapapun sikapku yang mungkin agak kaku dan dingin kepadanya, sebenar-benarnya aku amat amat sangat mengasihinya.

Lama aku memeluknya. Anakku kaku, mematung, karena tindakanku yang pasti sangat mengejutkan baginya ini. Namun, perlahan-lahan diapun mencair dan membalas pelukanku dengan hangat. Suasana ini benar-benar khidmat dan tenang. Hening pun akan terdiam melihat tingkah laku kami berdua. Dan waktu pun serasa terpaku, tatkala sepasang ayah dan anak ini membuktikan bahwa mereka sangat bersyukur, memiliki sosok masing-masing sebagai bagian dari syair hidupnya.

Perlahan-lahan akupun melepaskan pelukanku. Aku melihat ibunya,  istri yang selalu bersikap kuat untukku, sudah tidak sanggup lagi membendung air mata yang terus mengalir di pipinya. Itu air mata bahagia dan keharuan, melihat dua laki-laki yang amat dikasihinya tidak lagi menjaga perasaannya masing-masing, demi sesuatu yang dinamakan harga diri.

Dan akupun memegang pundaknya dengan mantap. Menatap jauh kedalam matanya dan berkata, “Apapun yang akan kau lakukan, ingatlah ayah sangat amat bangga telah memiliki anak sepertimu. Do the best my son. And may God always be with you” kataku, dengan diakhiri dengan sebuah senyuman yang tulus kepadanya.

Anakku terdiam cukup lama. Kemudian dia menatap ibunya, yang juga sedang tersenyum kepadanya. Dan setelah itu dia tertawa kecil, sambil menunduk dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menarik nafas panjang dan mengatakan

 “Aku pernah dengar bahwa salah satu momen terindah dalam hidup adalah ketika kamu melihat orang tuamu tersenyum dan menyadari kamulah alasan dibaliknya. Dan saat ini aku sedang mengalaminya. Terima kasih Ayah Ibu yang telah memberikanku kesempatan untuk  membuktikan hal itu” Katanya disertai dengan senyuman bahagia, senyum yang dulu pernah kulihat ketika dia terbang di udara oleh ayunanku dulu. Dan itulah senyum yang menandai akhir dari malam yang indah ini. Malam sebagai penanda sebuah fase kehidupan lain, yang telah berhasil kami lalui.

2 comments:

Unknown said...

Kekurangan:
Beberapa deskripsi menggunakan bunyi sebenarnya, seperti "brooommm" dan "ciiiiiittt" (tolong koreksi kalau hurufnya kurang/ kelebihan). Sebaiknya kejadian itu dijabarkan dengan deskripsi lengkap seperti "Dia menginjak pedal gas sampai suara mesin berderu seperti mesin pesawat" dan "Dia mengerem, kurang fokus sepertinya, memikirkan hal yang membuatnya tersenyum seperti itu, sampai ban mobil berdecit". Deskripsi tersebut akan lebih terbayang oleh pembaca.

Kelebihan:
Sudut pandang ada di bapaknya. Faktanya, jarang sekali novel atau cerpen populer bagi semua kalangan yang menggunakan sudut pandang seorang bapak. Menurut saya, bapak itu lebih banyak menyimpan rahasia daripada ibu. Seorang bapak tidak diciptakan untuk mampu dengan mudah mengutarakan perasaannya, apalagi mengekspresikannya dalam tangisan atau pelukan. Hal ini yang membuat anak lelaki, kebanyakan, kurang dekat dengan bapaknya. Dari cerpen ini, sedikit atau banyak, pembaca bisa mengetahui bagaimana pola pikir seorang bapak terhadap keluarganya, terutama pada anak lelakinya.

Saran:
Inti cerita berada di titik ketika keluarga dalam satu kesatuan harmonis, yang menurut saya, lebih baik ketika keluarga sedang tidak harmonis kemudian menjadi harmonis, yang bisa menjadi pelajaran bagi pembaca bagaimana cara membuat keluarga harmonis.

Kutipan Favorit
"Kalau kata para bijak di Cina, senyum wanita bisa meruntuhkan negara. Maka senyum misterius anakku bisa meruntuhkan alam semesta dengan segala rahasia yang menyertainya." Ini adalah bukti seorang bapak selalu merahasiakan kebanggaaan pada anaknya.

Anonymous said...

tes