Tuesday, October 2, 2012

Remembrance

Perawakannya mungil. Rambut tipis panjang dengan poninya menyamping ke kiri dengan bando warna pink yang tiap hari melengket di atas rambut, bando penghias tanpa punya nilai guna lainnya. Badannya bulet. Pipinya yang tembem menegaskan perbedaan manis dan gemuk. Aku satu SMP dengan dia, temen pertama yang aku kenal waktu SMP. Satu sekolah, satu kelas, dan satu bangku. Kami dipertemukan dengan proses tak wajar. Telat datang ke sekolah pertama kali dan teronggok di bangku pojok belakang. Vita yang cerewet dengan hiasan celoteh gilanya. Supel tapi juga gampang nangis. Easy going, setia, dan klop sama temen-temen yang sesama gila.

3 tahun kami bersama di satu tempat pendidikan yang sama, bahkan satu bangku yang sama. Sebegitu banyak kedekatan kami seperti masih belum tercukupkan. Kami memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di SMA yang sama. Berharap berada pada satu kelas, tentunya juga bangku yang sama. Itu harapanku, bukan dia.

Bolos pelajaran, nyuri singkong di kebun orang, badminton di lapangan tenis dengan lebar lapangan sesuai dengan yang ditempati, atau berteduh di bawah pelukan sejuk perbukitan. Dan semuanya, berdua. Kami akrab, kami lekat dan karena saking akrabnya, setiap orang menyalahartikan status kami. Setiap orang, termasuk aku sendiri.

Orang lain menganggap kami ini pasangan, sedang terbuai dengan gejolak perasaan layaknya kawula pada umurnya. Bagi mereka itu adalah anggapan, tapi bagiku itu adalah harapan. Ya, aku jujur dengan perasaanku ini. Sayangnya aku mengungkapkan kejujuran itu hanya pada langit-langit kamar yang kemudian aku menyebutnya plafon. Tak sekalipun terungkap kepada satupun objek lainnya.

Aku cukup menikmati kedekatanku dengan Vita. Untuk saat ini, aku pikir itu cukup. Aku tidak mempermasalahkan status kami. Memcium bau parfum yang sama di setiap baju yang dipakainya, mengabsen bando pink yang selalu ada di rambutnya, atau memastikan dia selalu datang tepat waktu sampai rumahnya dengan motor bututku. Aku tau semua tentang Vita, hobi badmintonnya, makanan favoritnya, toko baju langganan sampai ukuran sepatunya.

Aku menerima penganggapan Vita bahwa aku sahabat baiknya. Sekalipun tentunya aku berharap lebih, tapi aku enggan untuk mengungkapkannya. Aku jadi seperti daun gugur di atas sungai kecil. Bergerak ketika air takdir kedekatanku dan Vita mengalir, kemudian tenggelam dalam arus kebahagiaan karena tertimbun tetesan kenangan. Aku tertawa ketika Vita tertawa, aku bersedih ketika Vita tersedu. Ya, aku Cuma jadi semut yang berada di tengah-tengah barisan yang sedang merambat mengikuti semut yang ada di depannya.

Malam ini aku terlambat terpejam. Sengaja, karena sesi curhat akan segera aku mulai. Personifikasian langit-langit kamarku menjadi teman curhat sudah jadi ritual beberapa malam terakhir. Plafon tetap tenang, diam, dan selalu sabar menerima ceritaku, entah itu curhat atau sekedar pembenaran tentang jalan yang kuambil. Plafon selalu mengerti tanpa pernah memprotes keputusanku. Tapi entah mengapa malam ini Plafon tampak suram. Aku mencoba bertanya hingga kutemukan jawaban pada diriku sendiri.

“Plafon, aku bahagia dengan keadaanku saat ini. Kedekatan ini adalah kenyamanan. Aku memang menginginkan lebih tapi setiap harapan tak harus jadi kenyataan.”

Sejenak aku terdiam. Terhenyak dengan pernyataan klise ku sendiri. Hati ingin lebih tapi raga tak ada aksi. Ya, klise ini menumbuhkan pertanyaan baru. Sampai kapan? Sampai kapan hati mampu bersabar menjaga perasaan tetap berkubang di liangnya? Terkubur tapi tetap menghidupkannya. Menyala tapi tak sampai berkobar menyulut api sekitarnya. Indera begitu lelah, biarlah pertanyaan ini kucari jawabnya dalam lelap malam ini.

Waktu bukan sahabat yang bisa mengerti keadaan. Siap atau tidak, dia memaksa kita untuk menghadapi kehidupan. Suatu malam di semester terakhir SMA, plafon memaksaku membalikkan badan. Sedari tadi aku takut memandangnya. Kutengkurapkan badan menghempas di kehangatan pelukan kapas kasur. Membenamkan muka di pelukan bantal. Plafon semakin berani mengungkap ketidakbetahan menyimpan perasaan. Makin hari, aku makin terpojok dan makin lelah mencari pelarian dan alasan. Plafon selalu menang.

“Iya, aku mengerti, Plafon. Aku mengharapkan tapi aku tak bergerak mewujudkan”. Aku memejamkan mata, tapi Plafon menahannya. Tak mengizinkanku menghindar. “Baik, aku akan menunjukkan ini secara samar. Aku terlampau takut untuk menampakkan diri secara langsung”.

...

“Satria, kamu dateng jam berapa tadi? Tau gak siapa yang naroh bunga ini di meja? Udah 3 hari berturut-turut dapet bunga gini” Vita bertanya pada seseorang yang sebenarnya orang itulah yang menaruh bunga di meja Vita.

“aku gak tau siapa yang naruh bunga itu. Tadi aku cuma bentar di kelas, trus mampir ke kantin sarapan”, jawabku.
“buat aku atau gimana nih? Jangan-jangan salah ngasih, haha” Vita bergurau.
“kalo bukan buat kamu ngapain di taruh meja kamu, tiap hari lagi. Dari penggemar rahasia tuh,” jawabku sekenanya. “Vit, coba denger lagu ini deh. Asyik lho”, aku mencoba mengalihkan pembicaraan ke tema baru.
“mana coba?” Vita menarik sebelah headset yang sebelumnya berada di telingaku.

Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin ku kenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu

“ah iya bener Sat, walaupun udah agak lama, tapi tetep enak juga lagu ini. Selow…gitu” Vita sok menilai. Sesaat kemudian Vita memasukkan bunga ke dalam tasnya dibarengi senyum kecil tersungging di sudut bibirku. Biarkanlah Vita bertanya-tanya dan mendapat jawaban pada saat yang tepat kelak.
Beberapa hari belakangan aku semakin sering menaruh hadiah-hadiah kecil di laci meja Vita. Bunga, coklat kecil, gantungan kunci. Dan aksiku berhenti tepat seminggu sebelum UNAS.

“Plafon, aku lelah bersembunyi di balik hadiah. Aku lelah menjadi abu-abu yang bukan hitam atau putih. Aku lelah menjadi miring yang bukan tegak atau berdiri. Aku juga telah lelah menjadi sore yang bukan siang atau malam”, curhatku pada langit-langit kamarku. “aku harus keluar. Mungkin aku bisa menjadi putih atau hitam, tegak atau berdiri, siang atau malam. Aku tak peduli yang penting aku keluar”



Besok adalah malam perpisahan SMA. Dan, ya, aku masih berkutat dalam tempurung keraguan. Masih terpendam dalam gundukan ketakutan. Takut akan penolakan atau bahkan kerusakan ikatan kebersamaan.

“plafon, besok terakhir kali kami bertemu di sekolah. Dan aku masih setakut ini”. Aku memandang plafon yang menggertakku. “benar plafon, aku tak bisa terus begini. Aku tak peduli, aku harus menampakkannya dengan jelas. Begini plafon, jika memang dia menerimaku, maka kami akan bersama. Tapi jika sebaliknya, biarkan aku menghilang dari kehidupannya.

Malam ini meriah, layaknya acara perpisahan SMA pada umumnya. Alunan musik dari band lokal SMA bergiliran dengan pementasan tari dan pembacaan puisi. Semua orang termasuk Vita yang duduk di sampingku hanyut dalam suasana.

Ah, rupanya guru di sekolah kami tak mau kalah. Satu persatu menaiki panggung dan bernyanyi bersama. Wow lagu ini. Aku suka lagu ini, Vita juga.
“Satria, dengerin tuh. Lagu kesukaan kita dinyanyiin sama guru-guru” Vita memberitahu hal yang sudah kutahu. Hanya kujawab dengan senyuman.

Suatu hari di kala kita duduk di tepi pantai
Dan memandang ombak dilautan yang kian menepi

Hey, otak cerdas. Ide cemerlang ini. Kenapa tak ku utarakan saja perasaanku saat ini. Momen yang tepat sepertinya tak akan terulang dua kali. Betapa indah kuutarakan perasaan pada Vita dengan backsound lagu kesukaan kami.
“Vit..”
“hem?”
“aku...”
“kenapa? Kebelet pipis? Pasti takut ya ke toilet sendirian?”
“bukan...”
“...”
“aku...”
“...”
“sayang sama kamu Vit”

Vita masih tetap terdiam. Tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Aku tegang, tapi lega. Aku tak peduli jawaban Vita, yang terpenting aku telah keluar dari gundukan ketakutanku selama ini. Lama aku terdiam, begitupun Vita. Sebenarnya Vita sedang memikirkan jawabannya untukku atau dia tidak mendengar perkataanku tadi?

Vita kemudian memecah keheningan, “Sat, yuk ikutan nyanyi dong. Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu. Kemesraan ini ingin ku kenang selalu”.

Apa? Jadi ternyata Vita tak mendengarku? Semua yang aku bicarakan? Pengungkapan perasaan? Tidak mungkin lain waktu ada setitik keberanian seperti ini lagi di benakku. Aku terdiam. Merunduk dan terangguk. Meratapi kegagalanku mengalihkan perhatiaannya dari secuil lagu ke sebongkah perasaanku

!!!

“beeeeeb, kamu udah makan belum?”
Suara itu tiba-tiba membuatku tersadar dari lamunanku. Hari ini, 6 tahun setelah kelulusan SMA. Selalu kenangan itu yang terlintas di otakku ketika aku berusaha memutar waktu ke jaman SMA. Kenangan tentang Vita dan penembakan gagalku malam perpisahan dulu. Aku tersenyum, tanpa penyesalan sedikitpun menyembul di senyum itu.

“masuk beb, kita beli makan bareng yuk” ajakku pada Sarah kekasihku.

Aku mengenal Sarah pertama kali saat perkenalan pegawai baru di kantor. Kami sama-sama pegawai baru di sana dan mendapat asrama yang sama. Hanya berbeda paviliun.

“undangan apa tuh beb?” Sarah menunjuk pada sebuah undangan yang sedang ku pegang.
“undangan reuni SMA. Sekalian buka bersama. Waktunya pas banget lho sama libur kita.”
“asyik dong kamu bisa dateng”
“iya. Kamu mau ikut?” ajakku pada Sarah
“gak deh beb, aku kan juga harus pulang kampung. Lebaran di rumah aja deh. Gak apa-apa kan kamu dateng sendirian?”
“iya gak apa-apa kok”

...

Libur itu pun akhirnya tiba. Koperku sudah siap. Kulangkahkan kaki ke arah paviliun Sarah. Hari itu masih cukup pagi, embun masih enggan pergi dari ujung dedaunan.

“beb, kamu sudah siap?”
“berangkat sekarang? Udah nih. Yuk. Kita naik bus aja ya ke bandara” Sarah menjawab dengan lembut seperti biasanya.
“taksi aja deh. Takut telat sampe bandaranya.” Aku memutuskan.

 Tepat pukul 10 pagi kami mendarat di Juanda. Sarah melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Aku menempuh arah berlawanan ke arah barat Surabaya. Ketika terduduk di kursi bus kulihat sekali lagi undangan reuni SMA ini. Hari ini, pukul 4 sore. “aku pasti datang kawan”, gumamku.

...

Kawan-kawanku rupanya cukup bersemangat. 30 orang dari total 40 siswa di kelasku hadir. Aku datang paling terakhir karena ketiduran setelah kelelahan karena perjalanan tadi pagi. Sepertinya acara sudah di mulai.

“wah..Satria baru dateng. Silahkan ambil tempat. Acara sudah dimulai nih,” Andi sang ketua panitia menyambut. Teman-teman juga mengucapkan salam. Tak satupun dari kawanku SMA ini yang pernah bertemu aku selama 6 tahun ini. Aku kuliah di Jakarta menyusul kakakku.

Kusebarkan pandangan ke segala penjuru. Mencari sesosok wanita yang dulu sahabat akrabku. Itu, dia hadir juga. Tubuhnya masih tetap mungil untuk wanita seumurannya. Kini rambutnya sudah tak berponi. Terlihat lebih dewasa dengan kaca matanya. Satu lagi yang terlihat sangat berbeda, tak ada lagi bando warna pink melingkar di atas rambutnya. Vita terlihat semakin dewasa. Dia melihatku, tapi ketus. Ada apa ini? Dia teman yang paling kucari tapi dia satu-satunya yang tidak menyambut kedatanganku. Oh, aku mengerti. Mungkin dia marah karena aku menghilang tiba-tiba setelah lulus SMA. Tak ada sahabat yang tidak menghubungi sahabatnya selama 6 tahun seperti aku ini. Mungkin itulah sebabnya.

“Ellisa, sekarang giliranmu,” Andi memanggil Ellisa. “ayo ungkapin rahasia terbesar kamu waktu SMA. Setelah Ellisa nanti giliran Vita”

Ellisa mengungkapkan rahasianya tentang kekasihnya sewaktu SMA, Rico yang juga teman sekelas kami. “ayo Vita sekarang giliranmu” Andi memanggil Vita.
Vita memulai pembicaraannya. “Aku dulu menyukai seseorang, dia teman sekelas kita juga. Aku sudah mengenalnya cukup lama, sebelum SMA. Tapi aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Aku takut untuk memulainya, aku takut merusak kedekatan kami selama ini. Tapi aku tau dia memiliki perasaan yang sama denganku”

“kok kamu tau Vit?” Andi menyela.

“malam itu, malam terakhir kita di sekolah. Lelaki itu memakai kemeja warna ungu dengan dasi hitam dan celana hitam duduk di sampingku. Guru-guru di panggung sedang menyanyikan sebuah lagu kesukaannya, kesukaanku juga.

Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin ku kenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu

Di tengah lagu ini, lelaki itu mengungkapkan perasaannya padaku. Akhirnya saat itu tiba. Aku telah menunggunya cukup lama.”
“jadi kalian jadian dong abis itu?” Ellisa penasaran.
“tidak,” jawab Vita. Itulah kebodohan terbesarku. Aku berpura-pura tidak mendengarnya berbicara waktu itu. Saat itu aku berpikir, jika dia memang mencintaiku pasti dia akan mengulanginya sekali lagi. Dia akan mengungkapkan perasaannya padaku sekali lagi.”
“tapi itu tidak pernah terjadi. Dia tidak pernah mengungkapkan perasaanya lagi padamu,” entah refleks atau apa aku menyela pembicaraan Vita. Sontak semua mata tertuju padaku. Aku bingung mengapa aku bisa berbicara seperti itu. Kulihat setitik air mata mengalir di pipi Vita. Dia berdiri dan berjalan ke luar ruangan. Aku juga berdiri dan berusaha mengejarnya.

“maafin aku Vit,” aku meraih lengan Vita memberikan tanda untuk menahannya berhenti. “aku gak ngerti kalo kamu....”
“aku yang bodoh Sat,” Vita memotong. “aku pikir jika kamu serius nembak aku, kamu pasti akan mengulanginya lagi, tapi aku salah,” tangis Vita menjadi.
“maafin aku Vit. Aku gak tau..”
“kamu 6 tahun kemana? Menghilang dari aku tanpa pamit? Aku nunggu kamu sampai aku wisuda tapi kamu gak pernah sekalipun terlihat di hadapanku. Aku nunggu kamu selama itu”
“aku kuliah di Jakarta, nyusul kakak. Aku udah punya keputusan waktu itu. Jika kamu nerima aku, aku gak akan pergi ke Jakarta. Tapi kamu memutuskan untuk aku pergi”

Vita mengusap air matanya. Dia masih berdiri membelakangiku. Sejenak kemudian dia memberikan handphone-nya padaku. Aku melihat di layar handphone Vita. Ada foto Vita berdiri di samping seorang lelaki sambil menggendong bayi.

“Suami dan anakku,” Vita berbalik badan sambil menjawab pertanyaan yang tak pernah kuucapkan tapi terpenjara dalam hati. Vita selalu mengerti apapun bahkan sebelum aku mengucapkannya.

“cantik Vit anak kamu”
“ Vera Listiani Sasmito, sekarang 14 bulan. Ayahnya Hendro Budi Sasmito”
“aku rencananya bulan Agustus ini, tanggal 8. Dateng ya,” aku menjelaskan sambil memperlihatkan cincin pertunanganku yang melingkar rapi di jari manisku.

2 comments:

Unknown said...

Kekurangan:
Kenapa temanya bukan keluarga?
Tema cinta sepasang mempunyai dua sisi mata pedang. Mata pertama, cerita bisa membuat pembaca ikut jatuh cinta dan patah hati. Mata kedua, pembaca seperti orang yang sendirian yang harus menyaksikan dua orang pacaran, bermesraan, dan mendengar gombalan sang lelaki yang membuat mereka lebih baik pindah tempat.

Saran:
Perhatikan keinginan penyelenggara. Tunjukkan kenapa si pria bisa jatuh cinta kepada si wanita. Tanpa itu, cerita cinta manusia hanya seperti cerita ayam jago yang berkokok demi menarik perhatian ayam betina.

Kelebihan:
Saya suka kebiasaan Satria berbicara dengan plafon. Andai dibuat lebih unik misalnya plafonnya digambari muka karakter kartun dan diberi nama, dan ia mencegah ayahnya yang ingin mengecat ulang plafonnya, itu lebih menarik bagi pembaca.

Kutipan Favorit:
Sampai kapan hati mampu bersabar menjaga perasaan tetap berkubang di liangnya? Terkubur tapi tetap menghidupkannya. Menyala tapi tak sampai berkobar menyulut api sekitarnya.

Andreas Rossi said...

Satu-satunya yang "nyangkut" tentang tema Saujana kali ini (keluarga) hanya beberapa kalimat terakhir. Akan lebih bagus jika ada proyeksi bagaimana si Satria ini berandai-andai tentang membina sebuah keluarga dengan Vita, atau penceritaan tentang konflik batin si Satria (atau Vita) di saat dia harus puas untuk membangun keluarga dengan orang yang bukan pilihan terbaik hatinya.

Kutipan favorit:

“tidak,” jawab Vita. Itulah kebodohan terbesarku. Aku berpura-pura tidak mendengarnya berbicara waktu itu. Saat itu aku berpikir, jika dia memang mencintaiku pasti dia akan mengulanginya sekali lagi. Dia akan mengungkapkan perasaannya padaku sekali lagi.”
“tapi itu tidak pernah terjadi. Dia tidak pernah mengungkapkan perasaanya lagi padamu,”

I could relate to this quote. :")