Rupanya benar, Arum disini. Tempat yang aku perkenalkan padanya
5 bulan yang lalu. Tempat dimana aku mengutarakan perasaanku padanya.
Tempat dimana Arum hanya diam tanpa mengiyakan. Aku memandangnya dari
jauh. Tak mungkin dia mendapati keberadaanku disini. Sore itu sore
terakhir Arum disini karena senja esok hari Arum akan berangkat ke
Jakarta memenuhi panggilan interview calon perusahaannya.
Aku tidak begitu bisa melihat raut mukanya tapi aku mampu memastikan
Arum berulang kali menyeka air matanya. Cukup lama Arum tenggelam
bersama kesedihannya.
Sehembus angin dari utara Arum melepas gelang karet di tangan
kirinya. Memandangnya sejenak lalu menyeka air matanya lagi. Dari dalam
tasnya dia mengambil sebuah kaleng dan secarik kertas. Arum tampak
membaca tulisan di kertas itu lalu melipatnya dan memasukkannya ke dalam
kaleng. Gelang karet tidak lolos dari kaleng itu. Arum memandang sekali
lagi kaleng berisi kertas dan gelang karet itu.
Arum berdiri lalu berjalan tiga langkah ke belakang. Merunduk dan
memejamkan mata sembari memeluk kaleng itu erat. Lalu....byurrr
dilemparkan kaleng itu ke dalam danau. Arum tak lagi memandang kaleng
itu sekalipun. Kembali dia menyeka air mata sambil berlalu menuju
motornya. Aku melihat semuanya, semua dari awal hingga Arum pergi.
Seketika itu juga aku beranjak dari tempatku dan berlari…
…
Sore pengantar perpisahan Arum dengan kota ini. Entah sampai kapan.
Arum terduduk di barisan kursi. Aku melihatnya dari pintu masuk stasiun
sambil menenteng tas ransel kecil. Kaki sepertinya sudah siap menapaki
keramik stasiun satu persatu. Kuarahkan ke barisan kursi dimana ada
seorang wanita disana.
Ketika aku berdiri di dekat Arum kujatuhkan sebuah kaleng. Sengaja
dan berhasil merebut sorot matanya dari lelamunan. Mukanya memang selalu
lucu ketika terkaget seperti ini. “Seto…ngapain disini?” Arum dengan
nada kagetnya yang tersendat.
“gelang karetnya jelek ya? Kok dibuang?” aku menjawab pertanyaan Arum dengan pertanyaan.
“…ng…?, “ Arum yang sedari tadi tampak kaget sekarang bertambah heran.
“gak suka ya? Coba deh dipake. Keren kok. Kan kembaran sama aku,” aku
mencoba mencairkan keheranannya dengan sedikit menjulurkan lidah.
“kok…kamu…” Arum menerima gelang karet itu kembali.
“sini deh biar aku yang pasangin,” Aku memotong kalimat Arum.
“Seto…kamu..”
“Ganteng ya? Aku tau kok. Makanya kamu udah mulai suka sama aku”
“apaan sih..”
“Baik juga. Karena itu kamu berat mau ninggalin aku”
“iiih…” Arum dengan cubitannya di perutku
“kan kamu sendiri yang bilang gitu”
“hah? Kapan aku bilang gitu. Eh…eh…bentar” Arum seraya berdiri mengambil kaleng yang aku jatuhkan. “jadi kamu kemaren…”
“danaunya dangkal kok”
Beg…Arum berlari menabrakku. Melingkarkan lengannya di punggungku dan
membenamkan kepalanya di pundakku. Aku meresponnya dengan baik.
“ayah..ibu…,” Arum memanggil ayah dan ibunya yang dari tadi sibuk
memilih koran dan majalah. “Kenalin ini lho pacar Arum”. Cukup lantang
Arum berteriak ke ayah dan ibunya. Cukup untuk di dengar sekian banyak
orang di stasiun sore itu. Cukup juga untuk menjawab semua orang yang
melihat pelukan kami tadi. Tentu saja aku sangat kaget. Tapi apa yang
bisa kulakukan selain memandang bodoh ke Arum?
“eh…Arum. Apaan sih. Diliatin orang tuh,” kuremas telapaknya yang
sedari tadi menggenggam tangan kananku. Kemudian ayah dan ibu Arum
menghampiri kami berdua.
“kalo Seto sih ayah sama ibu udah kenal lama. Kan udah sering main ke rumah” ayah Arum dengan bijaksana
“tapi jadiannya kan barusan,” Arum dengan tanpa malu menjawab enteng.
…..
“Seto, 15 menit lagi keretanya dateng” Arum, tetap dengan tangannya yang menggenggam tanganku. Kali ini sambil terduduk.
“Jadwalnya sih emang gitu kan Arum” aku dengan tampang datar dan biasa saja.
“huh….bego dipelihara sih. Artinya 15 menit lagi kita pisah. Aku gak tau kapan pulang ke sini lagi.”
“oh..gitu.” tetap dengan muka polosku
“huh..” Arum menoyor kepalaku
“aduh, kenapa sih?”
“kamu gak ada sedih-sedihnya mau aku tinggal. Gimana sih” Arum
memasang muka sebalnya. Aku tak menjawab apapun hanya tersenyum. Entah
senyum bodoh atau senyum sedih.
…
“tuh keretanya udah dateng” Aku menunjuk pada sebuah cahaya lampu di
kejauhan yang membawa suara bising berjalan. Arum masih dengan muka
cemberutnya. Melirik sedikit ke arahku lalu membuang pandang ke arah
yang sama, kereta.
“ ayah, ibu, Arum pamit ya. Diantar sampe sini saja. Biar Seto yang
nganter ke atas. Pamit ibu…ayah..” Arum mencium tangan kedua orang
tuanya dan dibalas kecupan manis dari ayah dan ibunya.
“hati-hati nak. Kalau sudah sampai di Jakarta langsung telepon orang rumah. Jaga diri baik-baik”
Aku membawakan tas jinjing Arum di tangan kiri. Tangan kanan masih
tergenggam erat di tangan kiri Arum. Mengantarnya ke dalam kereta.
“nomor 7A kan Rum? Disini ya? Tasnya taruh di atas aja ya”
“Iya. Yaudah makasih ya To. Aku berangkat ya.” Arum tampak sedih.
“eh duduk dulu. Keretanya kan berangkat 5 menit lagi. Aku capek tau angkat tasmu itu.”
“tas segitu aja bikin capek. Lemah kamu To.”
“oh iya nih, lupa ada satu yang belum aku kasih ke kamu. Baca bareng yuk”
“ha…suratku. Gak mau. Aku malu” Arum menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya.
“kalo gitu aku yang baca. Kamu dengerin”
Seto, maafku yang pertama. Dulu aku belum bisa terima kamu. Emang
sih waktu itu aku belum siap. Aku masih takut sakit di masa laluku
terulang
Maafku yang kedua. Seiring waktu yang berjalan aku mulai
menyukaimu dan ingin memilikimu. Tapi aku hanya menunggu dan semakin
hari semakin membohongi perasaanku dengan menutupinya darimu. Setiap
hari aku menunggumu. Menunggu kamu mengulangi kisah sore di danau itu.
Maaf atas kebohongan kepada diriku sendiri.
Dan ini maafku yang ketiga. Sepertinya aku sudah harus berhenti
menunggumu. Biarkan aku pergi dan meninggalkan memori tentangmu di dalam
kaleng ini. Terbawa hanyut di danau dan terbenam dengan tetesan hujan
yang mendebit.
Maafkan aku Seto. Selamat tinggal.
“hahaha…aku malu To. Hahaha…eh…eh…keretanya jalan To. Sana lari” Arum berubah dari tertawa malu menjadi panik.
“lari kemana Rum?”
“turun lah, kemana lagi, dasar o’on. Nanti keburu keretanya kenceng kamu gak bisa turun.”
“masa gak ada cium perpisahan dulu?”
Cup…pipi kiri mendapati sebuah bibir manis mendarat disana. “gitu
dong…” aku tersenyum tetapi tak beranjak sedikitpun dari tempat dudukku.
“udah sana…tuh keretanya makin kenceng kan. Buruan…”
“ini bener kursi nomor 7B kan?” aku bertanya pada Arum sembari
mengeluarkan sebuah tiket. “menurut kamu buat apa aku ke stasiun sambil
bawa tas ransel?”
Arum hanya tersenyum manja. Tanpa menjawab sekalipun. Hanya pelukan yang menjawab semuanya. Ya, serta sepasang senyuman.
Kereta berjalan dengan pasti menyusuri alurnya. Sebuah sore, bukan tapi dua sore.
1 comment:
Ini temanya cinta lagi, ya? Bukan tentang keluarga ini. :O
Menurut saya, ceritanya terlalu plain. Hampir tidak ada konflik dan resolusi (terkecuali orang yang kangen ketika pacarnya akan pergi jauh untuk wawancara). Ending-nya manis.
Kutipan favorit:
"Dan ini maafku yang ketiga. Sepertinya aku sudah harus berhenti menunggumu."
Post a Comment