“Gue benci banget sama bokap gue! Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Bikin bete!”
Ingin sekali kutampar mukanya saat itu.
“Lo harusnya bersyukur, masih punya bokap yang masih bisa merhatiin lo.”
Lalu kami terdiam, ditemani sebotol bir yang sudah tak lagi dingin dan gelas yang sekarang hanya berisi angin.
---------------------
Orang-orang
sok bijak di jejaring sosial seringkali berkata, “Kita tidak pernah
tahu arti pentingnya seseorang, sampai kita kehilangan orang tersebut.”
Aku tidak setuju. Orang bisa datang dan pergi, dan seringkali, kita
tidak merasakan apa-apa. Menurutku, kita tidak pernah benar-benar tahu
arti pentingnya seseorang, sampai kita bisa merasakan penyesalan yang
teramat sangat ketika kita mengecewakan orang tersebut. Aku tahu benar
rasanya. Rasa marah pada diri sendiri yang teramat dalam, menyesali
kebodohan-kebodohan yang dulu kulakukan. Kepada ayahku. Yang baru
kusadari ketika ia pergi selama-lamanya meninggalkan diriku.
Ayahku
adalah seorang yang sangat konservatif, baik dari agamanya, maupun dari
sisi ke-Jawa-annya. Menurutnya, seorang anak tidak boleh membantah
perkataan orang tua, tak peduli orang tua itu benar atau salah. Masih
teringat benar, bagaimana sedari kecil aku dilarang untuk melakukan ini
dan itu. Tidak boleh main ke sana dan ke situ. Bahkan ayah pernah
menyita buku Charles Darwin milikku. Namun, jiwaku memberontak. Aku
menentang perkataannya. Aku tak mengindahkan larangannya. “Anak itu
kalau dikasih tahu orang tua, harus nunduk dan jangan membantah!”,
demikian ujarnya tiap kali kami berselisih. Mendengarnya aku merasa
risih. “Lihat tuh, anak-anak kampung sini! Kalau dinasehati orang tuanya
nggak ada yang bandel. Nggak kayak kamu!”, katanya sambil mengarahkan telunjuk ke arah rumah tetangga. Menjemukan. Namun aku tak juga peduli. Memangnya,
orang tua itu pasti selalu benar dan sempurna? Memangnya seorang anak
tidak punya hak untuk mengajukan pembelaan dan harus sendika dhawuh terus-terusan? “Hidupku ini hidupku sendiri!”, ujarku sambil bersikap pongah seakan sudah bisa menaklukan dunia.
Di
mataku, ayah bak seorang presiden sebuah negara otoritarian. Dan aku
yakin, di matanya, aku seperti mahasiswa anarkis yang bisanya hanya
teriak-teriak tak keruan. “Nak, Nak, kamu nanti kalau sudah besar jadi
pengacara saja. Sudah cocok sama sifatmu yang suka ngeyel itu.”,
begitu kelakar ayah sambil tertawa di suatu senja. Aku tak tahu, dan
tak akan pernah tahu, apakah dia tertawa karena leluconnya, atau sedang
mencoba menghibur diri dari kegetiran hatinya saat melihat kelakuan
anaknya.
Lalu,
pada suatu waktu, aku tak tahu persis kapan, ayah terkena stroke. Ayah
memang dari dulu suka makan durian dan sate kambing, perokok berat pula.
Dia dirawat sekitar dua minggu di sebuah rumah sakit swasta. Setiap
hari aku mengunjunginya, dan hal yang paling tak bisa kumaafkan
sepanjang hidupku adalah aku tidak merasa apa-apa. Tidak pula sedih.
Hampa. Ketika ada rombongan dari gereja yang mendoakan, aku hanya bisa
turut mengamini, tanpa bisa mengimani. Aku bisa melihat pada ayah, ada
sorot mata kekecewaan tiap kali aku masuk ke ruangan tempat ia dirawat.
Namun, aku tetap saja tidak merasa apa-apa. Tidak bisa. Bahkan, pada
detik ketika dia meninggal, tak setetes pun air mataku jatuh. “Memang
sudah harus diikhlaskan, daripada ayah tersiksa dengan alat-alat rumah
sakit itu,” begitulah aku mencari rasionalisasi. Mungkin saja pada waktu itu hatiku memang sudah mati.
Baru
ketika jasadnya sudah ditelan bumi, aku menelaah kembali hubungan kami.
Aku baru mengerti, bahwa lawan kata dari cinta bukanlah benci, namun
keteracuhan. Ayah yang tidak peduli adalah ayah yang lebih buruk daripada ayah yang suka memarahi. Dan
apa yang dilakukan ayah adalah wujud cinta yang sesungguhnya. Ia hanya
mencoba melindungi diriku yang masih rapuh dari kerasnya dunia ini.
Ketika aku sadar itu, barulah seluruh air mataku tumpah. Aku mengalami
penyesalan yang lebih besar dari semua penyesalan yang pernah kualami
sepanjang hidupku. Namun semua sudah terlambat. Terlambat untuk meminta
maaf dan mengubah sikap. Terlambat untuk menunjukkan rasa cinta dan
hormatku kepadanya. Terlambat untuk melakukan hal yang terbaik baginya.
Keterlambatan-keterlambatan yang akan terus menghantuiku sampai ajal
nanti. Aku meraung, tapi langit tak pernah menjawab tangisanku. Tak akan
ada ayah lagi. Aku menyesal. Sungguh sangat menyesal.
---------------------
Suara lagu “Soldier of Fortune”
dari Deep Purple mengalun dari radio di suatu hari sepulang sekolah,
membangkitkan semua kenanganku tentang ayah. Ya, ini lagu kesukaannya.
Di otakku, imaji tentang ayah membuncah. Aku melihat dia sedang duduk di
depan komputer sambil memainkan lagu ini dan memintaku untuk
menemaninya mengerjakan pekerjaannya.
Pikiranku
kemudian terseret ke belakang, kepada kenangan-kenangan lain tentang
dia. Ketika pertama kali ia mengajariku naik sepeda. Ketika pertama kali
ia mengajariku memetik gitar. Ketika ia membawaku jalan-jalan berdua
saja dengannya. Ketika dia menasihatiku sambil bersantai menonton layar
kaca. Ketika dia datang jauh-jauh dari kantor hanya untuk melihatku
berlomba. Ah, mengapa dulu aku mempersangkakan yang buruk tentang
ayahku? Bukankah dia benar-benar seorang ayah yang baik?
Andai
saja dapat kukendalikan waktu, aku hanya ingin kembali lagi ke
masa-masa itu, ayah. Menikmati kata-katamu. Mendengarkan
cerita-ceritamu. Mengenang wajahmu. Bahkan aku ingin kembali tersesat,
agar kau bisa menemukanku lagi dan membawaku dalam pelukmu.
Lagu
berhenti, dan setelah itu ayah pun pergi. Meninggalkan aku dengan hati
yang sekali lagi sepi. Jujur, setelah itu, aku selalu memainkan lagu
yang sama berulang kali. Mencari lima menit di mana dia bisa hidup dan
kami bisa bertemu lagi di dalam memori. Karena, bagaimana lagi aku harus
mencari jalan untuk kembali?
---------------------
Bir sudah habis, bahkan botol dan gelasnya sudah diangkati oleh pelayan. Kami belum juga beranjak pergi.
“Gue pesen minum lagi, yak? Nggak enak sama pelayannya.”
“Terserah lo aja.”
Dua cangkir kopi hangat datang dan dua batang rokok kemudian, kami masih terhanyut dalam keheningan.
“Jangan sampai lo entar nyesel kayak gue. Gue baru tahu, kalau ternyata sikap over-protektif orang tua itu buat kebaikan kita, baru setelah gue kehilangan bokap gue. Gue belajar ini the hard way, man! Gue nggak mau, kalau entar lo baru sadar setelah semuanya terlambat,” kataku membuka kembali percakapan.
Mengapa aku baru sadar ketika semuanya sudah terlambat?
---------------------
Aku
suka pergi ke pusara ayah, sendirian. Di malam hari. Ditemani dua-tiga
ekor nyamuk yang mengerubuti dan lampu neon depan kuburan yang sudah
selayaknya diganti. Hantu? Ada yang lebih menakutkan daripada hantu.
Yaitu sesuatu yang terus menempel pada diriku dan membuatku gagal
berdamai dengan masa lalu. Aku rasa kalian sudah tahu apa itu.
Aku
suka berbicara di depan pusara layaknya orang gila, seakan-akan ayahlah
yang di sana kuajak bercengkerama. Meskipun sebenarnya hanya kesunyian
saja yang selalu kudengar. Memang seperti inilah biasanya ketika aku
bercerita kepada ayah. Seringkali ayah hanya memandangku tanpa berkata
apa-apa. Sesekali ia mengajukan beberapa pertanyaan. Atau tertawa.
Sungguh, aku suka sekali saat melihatnya tertawa.
Aku
melihat tanggal di pusara ayah. Sudah enam tahun. Lama juga ternyata.
Ah, bagaimana kelak jika aku sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari
sini lalu berangsur-angsur melupakanmu, ayah? Sudikah kau untuk tetap
bisa kuajak bercengkerama jika aku menemuimu lagi, di sini, setelah
mungkin nanti aku lama tidak peduli?
---------------------
“Lo bisa dengan gampang bilang kayak gitu, karena bokap lo itu bokap kandung lo!”
“Apa bedanya? Karena bokap lo bokap tiri? Menurut lo, siapa yang lebih layak disebut orang tua? Dia yang ilang gitu aja? Atau dia yang selalu ada ketika lo butuhkan, saat lo sakit, yang ngawasin lo dari jauh dan siap nolong lo ketika lo jatuh, yang ngasih lo saran buat ngambil keputusan-keputusan yang penting di hidup lo sejak lo kecil, yang mau peduli sama bocah yang bukan darah dagingnya sendiri?”
Aku menghela napas. Lalu melanjutkan.
“Kesalahan lo adalah tentang definisi seorang orang tua. Nggak ada orang tua yang lo bisa patok sempurna. Beberapa memang baik banget, beberapa emang jelek banget, tapi kebanyakan orang tua ada di tengah-tengah, dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing. True perfection has to be imperfect, bro. Meskipun, sikapnya mungkin menurut lo over-protektif, he has always been there for you. Still is. And he has always loved you. Still does. Nggak kayak gue yang udah kehilangan.”
Dia menangis. Aku menangis. Menangisi ayah kami masing-masing.
Sedangkan malam semakin mengendap. Hanya kami yang masih menangis merajut harap.
---------------------
“Kamu itu mirip sama ayahmu, Nak.”
“Kok bisa?”, tanyaku kepada ibu.
“Ya dari cara ngomongnya, cara mikirnya. Kelihatan paling cuek, tapi sebenarnya yang mikir dan khawatir paling banyak. Kamu kelak harus bisa bikin ayah bangga dari surga sana, ya?”
Aku mengangguk dan tersenyum. Aku bahagia. Karena aku tahu ayahku sedang hidup kembali melalui aku.
Ayah, tolong awasi aku dari sana.
Tugasku baru saja dimulai.